JAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan tarif ojek online (ojol) yang telah resmi diberlakukan tanggal 1 April 2019 lalu tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan pengemudi.
Menurut kepala tim peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara, kenaikan tarif justru bisa menggerus konsumen ojol hingga 75 persen.
"Kenaikan tarif justru menggerus permintaan ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi," kata Rumayya Batubara dalam acara Diseminasi hasil riset kenaikan tarif ojek online di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Pasalnya, berdasarkan hasil temuan RISED yang dilakukan di 9 wilayah Indonesia dengan 3.000 responden, 75 persen masyarakat menolak kenaikan tarif. Penolakan terbesar terjadi di area Jabodetabek sebesar 82 persen.
Apalagi, Rumayya menyebut kenaikan tarif ini tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen. Tarif yang dibayar konsumen justru lebih mahal dibanding keputusan Menteri Perhubungan nomor 348 tahun 2019.
"Tarif atau biaya jasa yang tertera dalam Keputusan Menteri Perhubungan merupakan tarif dasar yang diterima pengemudi, bukan konsumen. Artinya, tarif yang dibayar konsumen lebih mahal lagi karena harus membayar biasa sewa aplikasi," kata Rumayya.
Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019, tarif batas bawah yang semula Rp 1.500 menjadi Rp 2.000. Tarif batas atas yang semula Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.
Namun, tarif yang dikenakan konsumen bisa mencapai 2.500 sampai Rp 3.125 per kilometer sebagai tarif dasar yang dalam keputusan Menteri Perhubungan sekitar Rp 2.000 sampai Rp 2.500 untuk zona II (Jabodetabek).
Tarif konsumen terendah berada di zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera) di kisaran Rp 2.312 sampai Rp 2.875 sebagai tarif dasar. Sedangkan tarif teratas berada di zona III (wilayah sisa zona I dan zona II) di kisaran Rp 2.625 sampai Rp 3.250.
Ekonom dari Universitas Airlangga (Unair) tersebut mencontohkan, tarif batas bawah yang harus dibayar konsumen di Jabodetabek sebesar Rp 2.500 jika asumsi tambahan biaya sewa aplikasi 20 persen. Sementara yang tertera di Kepmenhub Rp 2.000 per kilometer.
Rumayya menyebut, kenaikan tarif ini berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen. Jika jarak tempuh konsumen adalah 7-10 km per hari, maka pengeluaran konsumen akan bertambah dari Rp 4.000 sampai Rp 15.000.
Tarif yang biasanya hanya Rp 8.000 jarak dekat, menjadi Rp 10.000 sampai Rp 12.000.
Hal ini tentu membuat konsumen beralih moda transportasi dan menggerus pendapatan mitra pengemudi ojek online.
"Tentu saja ini menjadi sinyal buruk bisnis aplikasi di Indonesia," pungkas Rumayya.
https://money.kompas.com/read/2019/05/06/160117226/kenaikan-tarif-ojek-online-dinilai-tak-jamin-kesejahteraan-pengemudi