Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

NET TV, Pong Harjatmo, dan Beratnya Bisnis Televisi di Era Netflix

KOMPAS.com - Aktor lawas Pong Harjatmo kebingungan ke mana ia harus menagih honor atas syuting program The East yang tayang di NET TV beberapa bulan lalu.

Nominalnya tak besar, cuma Rp 5 juta.

Tapi ia heran kenapa pembayaran itu lama sekali. Apalagi ia juga mendengar banyak artis yang mengalami nasib serupa. Ia mencoba mengontak penanggung jawabnya lewat SMS, namun tidak ditanggapi.

Upaya telepon pun juga tak dihiraukan.

"Katanya bagian talent-nya sudah keluar. Bagian keuangan juga sudah keluar. Langsung telepon produser beberapa kali, tapi bahkan foto-nya di HP dihapus atau hilang," kata Pong kepada Kompas.com, Kamis (8/8/2019).

Merasa tertipu, Pong sampai menyewa pengacara untuk melakukan somasi bahkan pelaporan polisi.

Untungnya beberapa hari lalu, honor itu cair sehingga Pong batal memperkarakannya.

Terselesaikannya kasus Pong tak serta merta “membersihkan” nama NET TV.

Beberapa hari ini, jagat maya diresahkan dengan pemberitaan yang menyebut akan ada pemutusan hubungan massal (PHK) di NET TV.

Belum lagi hilangnya sejumlah program andalan dari layar kaca dan batalnya NET melantai di bursa saham.

Apa yang sebenarnya terjadi di televisi masa kini itu?

Efisiensi karyawan

Chief Operating Officer PT NET Mediatama Indonesia Azuan Syahril membenarkan pihaknya melakukan efisiensi terhadap sumber daya manusia. Tapi bukan lewat PHK massal.

Karyawan hanya "didorong" untuk mengundurkan diri, dijamin tanpa paksaan. 

"Kami malah memberi penawaran kepada karyawan yang berniat mengundurkan diri. Kami akan beri benefit untuk mereka," kata Azuan kepada Kompas.com, Jumat (9/8/2019).

??Bulan ini saja, sudah 20 lebih yang mengundurkan diri. Biro NET di Semarang dan Surabaya sudah ditutup. Padahal, kedua biro itu harusnya penting untuk kepentingan berita NET TV.

"Yang pasti kami efisiensi untuk langkah terhadap perusahaan intinya. Dan juga untuk berita, kami bisa dapatkan dari sumber-sumber, kami punya citizen journalism. Ya, sama lah kayak teman-teman di TV lain," ujar Azuan.??Ketika ditanya apakah efisiensi dilakukan karena keuangan NET memburuk, Azuan enggan menjawabnya.

Begitu pula soal kabar NET babak belur bersaing dengan televisi lainnya akibat rating yang jeblok. Namun ia membenarkan efisiensi dilakukan untuk menjaga NET tetap ada di layar kaca.

"Kita kan di era sekarang dengan kompetisi yang berat, tiba-tiba mengadakan restrategi terhadap perusahaan. Jadi kita membuat strategi baru," kata Azuan.

Bersaing dengan sinetron

Jika dibandingkan dengan televisi hiburan lainnya, NET boleh dibilang punya konten yang lebih baik.

"Alternatif tontonan hiburan layar kaca dengan format dan konten program yang berbeda dengan stasiun TV lain," begitu klaim di situsnya.

Tapi kenapa dengan konten yang baik itu, NET kesulitan bersaing dengan stasiun-stasiun lain?

Apa benar orang lebih suka menonton sinetron azab dan talkshow gosip?

Peneliti Remotivi Firman Imaduddin mengatakan selera penonton TV boleh jadi alasan NET TV terseok-seok bersaing.

Buruknya selera masyarakat tak terlepas dari peran para pesaing NET yang membiasakan masyarakat dengan tayangan bermutu rendah.

"Yang jadi masalah ketika tayangan populer tapi sampah. Ya soal tidak sensitif gender, pembodohan umum, itu jadi masalah," kata Firman.

Konten baik ala NET kemungkinan tidak cukup menarik bagi penonton TV.

Namun bukan berarti NET harus tunduk mengikuti selera pasar. Tantangannya, menyajikan hiburan bermutu namun tetap disukai masyarakat.

"PR-nya adalah bagaimana mendefinisikan tayangan bermutu tapi tetap sustain ke industri televisinya, tetap educating. Dulu mungkin dilakukan oleh Bajaj Bajuri," ujar Firman.

Lari ke digital

Dugaan lain soal terseok-seoknya NET TV, ada pada tren digital yang meroket tajam. Penelitian lembaga rating AC Nielsen mengungkap pertumbuhan kepemilikan telepon seluler dalam lima tahun terakhir sangat pesat, mencapai 250 persen.

Waktu yang dihabiskan konsumen Indonesia untuk media digital pun meningkat dalam tiga tahun terakhir. Dari rata-rata 2 jam 26 menit menjadi 3 jam 20 menit per hari.

Sementara waktu yang dihabiskan untuk media TV tidak bertambah, dari 4 jam 54 menit menjadi hanya 4 jam 59 menit pada periode yang sama.

"Jelas bahwa digital mulai mengejar TV, dan digital dipandang sebagai pendatang baru yang ‘seksi’ dalam media mix," kata Managing Director Media Nielsen Global, Matt O'Grady.

Kendati porsi kue iklan masih terbesar di televisi, tren digital ini bisa jadi membuat televisi tak lagi diminati oleh pengiklan. 

Pasalnya, di Amerika Serikat saja, aplikasi ponsel dan internet di komputer makin merongrong televisi.

Ini terjadi di kelompok usa 18-34, usia produktif yang notabene aktif berbelanja.

Masih berdasarkan data Nielsen, di Amerika Serikat, individu berusia 18-34 menghabiskan waktu di ponsel mereka dan komputer mereka selama 4 jam 2 menit sehari.

Sedangkan televisi hanya 1 jam 54 menit. TV hanya unggul di sebagian generasi X dan generasi Baby Boomers, atau yang usianya kini sudah 50 tahun ke atas.

Di Amerika Serikat, televisi gratis memang masih hidup. Namun kepemilikannya hanya berputar di lima jaringan besar yakni NBC, CBS, ABC, Fox, dan The CW.

Jika hari ini Indonesia baru dibuat pusing dengan meredupnya media konvensional, di Amerika Serikat, industri TV kabel atau TV berbayar sudah lama kehilangan pelanggannya dengan hadirnya Netflix dan kawan-kawan.

Terlepas dari usia dan tren global, Imaduddin mengingatkan ada juga bias kelas yang berpengaruh pada industri televisi.

Mereka kemungkinan sudah meninggalkan televisi dan beralih ke ponsel untuk hiburan maupun informasi.

"Sebenarnya konten mereka baik, tapi dari segi masyarakat dominan mereka enggak menjawab demand. PR-nya bagaimana bikin tayangan bermutu tapi appealing ke market yang meninggalkan TV," kata Firman.??

Masalah yang dihadapi NET kini, tak menutup kemungkinan akan dihadapi industri televisi secara keseluruhan. 

https://money.kompas.com/read/2019/08/11/060000626/net-tv-pong-harjatmo-dan-beratnya-bisnis-televisi-di-era-netflix

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke