JAKARTA, KOMPAS.com - Menurut laporan kekayaan global Allianz edisi 10, aset finansial di semua negara industri dan berkembang untuk pertama kalinya mengalami penurunan secara serentak di tahun 2018.
Hal tersebut disinyalir karena para pemilik tabungan menghadapi kesulitan akibat tekanan global, seperti konflik dagang AS-China, Brexit, makin ketatnya kebijakan moneter, dan adanya pengumuman normalisasi kebijakan keuangan.
Pasar saham pun bereaksi dengan jatuhnya harga ekuitas global sekitar 12 persen pada tahun 2018, yang merupakan dampak langsung pertumbuhan aset. Aset finansial bruto global untuk rumah tangga turun 0,1 persen dan bertahan di nilai 172,5 triliun euro.
“Tentunya ada konsekuensi dari makin meningkatnya ketidakpastian ini. Terkoyaknya tatanan ekonomi global yang teratur berdampak buruk bagi akumulasi kekayaan," kata chief economist Allianz Group kata Michael Heise dalam siaran pers, Selasa (24/9/2019).
"Sebagaimana yang terjadi tahun lalu, ini antara semua untung atau semua merugi. Proteksionisme agresif tidak akan memunculkan pemenang," sebut Heise.
Berbanding terbalik dengan tren global yang mengalami penurunan aset, aset finansial bruto rumah tangga Indonesia justru naik 5,8 persen tahun 2018.
Sayangnya, kata Heise, kenaikan ini merupakan kenaikan paling kecil sejak krisis finansial tahun 2008 atau setengah dari pertumbuhan tahun 2017.
"Tapi ini (Indonesia) tetap masih kuat di wilayah negara-negara berkembang lainnya," ucapnya.
Heise mengatakan, memang perlambatan semacam itu telah terjadi di manapun sehingga Indonesia juga terkena dampak meski terlihat mengalami kenaikan sebesar 5,8 persen.
Sebagai bukti, deposito bank hanya mampu tumbuh 6,1 persen, mencatatkan pertumbuhan terendah dalam 2 dekade terakhir. Selain itu, asuransi dan tabungan pensiun juga akhirnya naik sedikit sebesar 3,1 persen.
"Di sisi lain, terjadi kenaikan utang sebesar 9,7 persen, yang tertinggi sejak tahun 2014. Namun, rasio utang rumah tangga Asia selain Jepang tetap stabil pada nilai 16,3 persen alias tidak berubah selama 5 tahun belakangan," jelas dia.
Konvergensi antara negara berkembang dan negara kaya
Aset finansial bruto tahun 2018 di pasar negara-negara berkembang tidak hanya mengalami penurunan untuk pertama kalinya, tetapi nilai penurunannya yang sebesar -0,4 persen tetap lebih tinggi daripada di negara-negara industri sebesar -0,1 persen.
Lemahnya pertumbuhan di China, kata Heise, yang nilai asetnya jatuh hingga 3,4 persen juga berperan penting dalam hal ini.
Pasar negara berkembang baru yang pantas diperhitungkan, seperti Meksiko dan Afrika Selatan, juga terpaksa menelan kerugian yang signifikan tahun 2018.
"Ini adalah pembalikan tren yang luar biasa. Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan aset finansial di wilayah berkembang rata-rata 11,2 persen lebih tinggi daripada di wilayah kaya, termasuk pada tahun 2018," ujar dia.
"Tampak bahwa upaya negara-negara berkembang dalam mengejar ketertinggalan tak bermakna akibat timbulnya perselisihan dagang. Negara-negara industri pun tidak mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Jepang, Eropa Barat, dan Amerika Utara harus menghadapi pertumbuhan aset yang negatif masing-masing -1,2 persen, -0,2 persen, dan -0,3 persen," imbuh dia.
https://money.kompas.com/read/2019/09/24/121826426/berbanding-terbalik-dengan-tren-global-aset-finansial-ri-tumbuh