Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keluhan Industri Keramik: Sudah Gas Mahal, Dihajar Impor Pula

JAKARTA, KOMPAS.com - Industri keramik dalam negeri sudah sejak lama mengeluhkan harga gas yang dinilai sangat memberatkan. Padahal industri ubin di dalam negeri tengah dalam kondisi pelik karena membanjirnya impor keramik.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Elisa Sinaga, mengungkapkan harga gas yang dibayar bagi industri domestik masih berada di atas 9 dollar AS per MMBTU.

"Harga kita masih termasuk yang mahal di banding secara kawasan, kita harganya 9,1 dollar AS (per MMBTU). Artinya apa? Harus ada campur tangan pemerintah, terserah lah caranya bagaimana," kata Elisa kepada Kompas.com, Selasa (7/1/2020).

Menurutnya, penurunan gas jangan hanya sekadar janji. Masalah harga gas sudah memberatkan industri sejak beberapa tahun belakangan.

"Padahal kita kan ingat, sekitar kalau nggak salah tiga tahun lalu kan janji katanya gas sudah bisa berikan penurunan gas. Kita percaya, kepercayaan ini yang penting," ujar Elisa.

"Tinggal seberapa mampu pemerintah dan seberapa effort-nya, kita perhatikan betul. Jangan bilang oh nggak bisa turun, negara nggak mampu. Jadi bisa harga 5 dollar (per MMBU) bagus, bisanya 6 dollar (per MMBTU) juga monggo. Buktinya negara lain bisa kok," imbuhnya.

Dikatakannya, harga gas yang membuat ongkos produksi tertekan. Di sisi lain, pelaku industri keramik juga harus dihadapkan pada keramik impor dari China, India, dan Vietnam.

Kata Elisa, meski harga keramik ditentukan banyak faktor, ongkos energi untuk di pabrik keramik tetap jadi yang dominan. Itu sebabnya, penurunan gas sudah sangat mendesak.

China bisa memproduksi keramik dengan sangat murah lantaran menggunakan gas dari batubara yang harganya 5 dollar AS per MMBTU. Industri keramik China juga menikmati banyak insentif pemerintah.

"Di China mereka pakai gas batubara, murah sekali hanya 5 dollar AS, karena energi kotor. Tapi memang dua tahun ke depan akan dilarang, mereka juga mulai beralih ke gas alam yang harganya mirip dengan kita di kisaran 8-9 dollar AS (per MMBTU)," jelas Elisa.

Untuk menekan impor keramik China, Indonesia sebenarnya telah menerapkan safeguard sejak Oktober 2018.

Safeguard ini berlaku selama tiga tahun dengan besaran 23% di tahun pertama, 21% di tahun kedua, dan tahun ketiga sebesar 19%. Namun tetap saja, harganya masih bisa lebih murah.

"Mereka pakai gas alam sekalipun, China masih lebih murah walaupun ekspor ke Indonesia kena safeguard. Karena mereka dapat banyak insetif, tanah disediakan, perizinan mudah, kalau kita dari awal bangun pabrik sudah keluar banyak biaya," katanya lagi.

Dikutip dari data Asaki, impor keramik meningkat rata-rata 16,23 persen per tahun sejak lima tahun terakhir.

Sebagai contoh, di tahun 2016, impor keramik tercatat sebesar 57,37 juta meter persegi. Volume impor ini naik sebesar 24,9 persen dibandingkan tahun 2015.

Tren impor terus mengalami kenaikan. Di tahun 2017, impor keramik seperti dicatat Asaki naik sebesar 18 persen, dan kembali naik di 18,6 persen pada tahun 2018 dengan volume impor 80,32 juta meter persegi.

Jokowi kesal

Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekesalan atas tingginya harga gas industri.

Saat memimpin rapat terbatas terkait harga gas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/1/2020), Jokowi bahkan menyatakan bahwa ia ingin berkata kasar karena kesal dengan mahalnya harga gas.

Awalnya, Jokowi menjabarkan bahwa tingginya harga gas ini membuat produk-produk Indonesia kalah bersaing dari produk luar.

"Harga gas akan sangat berpengaruh pada daya saing produk industri kita di pasar dunia. Kita kalah terus produk-produk kita gara-gara harga gas yang mahal," kata Jokowi.

Padahal, Jokowi menyebutkan, ada enam sektor industri yang menggunakan 80 persen volume gas Indonesia, yaitu industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, dan industri gelas.

https://money.kompas.com/read/2020/01/07/123100426/keluhan-industri-keramik--sudah-gas-mahal-dihajar-impor-pula

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke