Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Siapkah Indonesia Menghadapi CEPA Indonesia-Korsel?

Pemerintah meyakini, perjanjian dagang ini akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, seperti memperluas akses bagi produk-produk Indonesia di pasar Korsel dan mempercepat transfer teknologi dan ilmu pengetahuan dari Korsel.

Setelah penandatanganan IK-CEPA, sayangnya, tidak tampak bagaimana upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk ekspor dan jasa, dan juga tidak jelas bagaimana upaya pemerintah menolong pelaku industri lokal, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang saat ini sedang “mati suri” akibat pandemi Covid-19.

Pemerintah perlu membuat kebijakan kongkret untuk meningkatkan daya saing jasa dan produk-produk dalam negeri agar Indonesia tidak sekedar menjadi pasar produk-produk Korsel pascaratifikasi IK-CEPA.

Manfaat IK-CEPA

Tercapainya penandatanganan IK-CEPA mungkin merupakan satu-satunya prestasi yang ditorehkan Agus Suparmanto sebagai menteri perdagangan sebelum ia dicopot Presiden Joko Widodo.

Proses perundingan IK-CEPA dimulai pada 2012 di masa pemerintahan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi sempat terhenti pada 2014, dan di masa pemerintahan Jokowi, negosiasi dilanjutkan kembali pada Februari 2019.

Sebagai sebuah perjanjian dagang bilateral, IK-CEPA mengandung prinsip, norma, dan aturan, dan Indonesia dan Korsel berhasil menyepakati ketiganya dalam proses perundingan yang relatif singkat, yakni kurang dari setahun.

Salah satu aturan yang disepakati ialah pemangkasan pos tarif perdagangan barang. Korsel akan memotong pos tarifnya hingga 95,54 persen untuk produk Indonesia, dan karena aturan ini bersifat resiprokal, Indonesia akan memangkas pos tarifnya hingga 92,06 persen untuk produk Korsel.

Fasilitas tersebut menunjukkan, kedua negara membuka pasarnya lebar-lebar untuk satu sama lain di bawah koridor IK-CEPA.

Indonesia melihat pasar Korsel penting karena daya beli masyarakatnya yang tinggi, dan karena jumlah penduduknya yang besar, Indonesia juga dipandang sebagai pasar yang penting oleh Korsel. Kedua negara melihat satu sama lain sebagai mitra strategis.

Indonesia dan Korsel menyepakati IK-CEPA untuk mencapai kepentingan bersama, yakni meningkatkan nilai transaksi perdagangan. Target mereka ialah meningkatkan nilai perdagangan hingga 30 miliar dollar AS per tahun.

Menurut Kementerian Perdagangan, nilai total perdagangan antara Indonesia dan Korsel menurun hingga 14,7 persen dari 15,6 miliar dollar AS pada 2019 menjadi 13,3 miliar dollar AS pada 2020.

Pada 2018, Indonesia masih melihat surplus sebesar 460 juta dollar AS dalam neraca perdagangannya dengan Korsel. Akan tetapi sejak 2019, Indonesia menghadapi defisit. Pada 2020, nilai ekspor Indonesia ke Korsel sebesar 6,5 miliar dollar AS, sedangkan nilai impor dari Korsel sebesar 6,8 miliar dollar AS.

Indonesia mengekspor batu bara, karet alam, dan produk baja antikarat ke Korsel, dan sebaliknya, Korsel mengekspor sirkuit elektronik, karet sintetis, dan produk baja olahan ke Indonesia.

Dalam IK-CEPA, Indonesia dan Korsel juga berkomitmen meningkatkan kualitas pelayanan jasa di berbagai sektor, termasuk pariwisata. Perjanjian ini akan memfasilitasi tenaga kerja asing dan kunjungan bisnis dan mengintegrasikan sejumlah sektor jasa, seperti waralaba, konstruksi, dan layanan pos dan kurir.

Siapkah Indonesia?

Bagi Indonesia, IK-CEPA tidak hanya sekedar medium untuk meningkatkan nilai transaksi perdagangan, tetapi juga untuk menggenjot investasi, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk mencapai tiga kepentingan ini, pemerintah perlu melakukan tiga hal.

Pertama, pemerintah perlu segera menolong pelaku industri, terutama UMKM, yang saat ini sedang “sekarat” di tengah pandemi. Di sektor pariwisata, misalnya, banyak perusahaan biro perjalanan wisata dan penyelenggara acara saat ini bagai hidup segan mati tak mau.

Pemerintah memang telah mengeluarkan stimulus pariwisata sebesar Rp 3,8 triliun, tetapi perusahaan biro perjalanan wisata nahasnya tidak termasuk dalam daftar penerima bantuan tersebut. Apabila dibiarkan sekarat dan kemudian mati, bagaimana mereka bisa membuat paket wisata yang unggul dan kemudian menikmati manfaat IK-CEPA?

Pada November 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebenarnya sempat mengeluarkan program Big Promo. Melalui program ini, pemerintah menyediakan voucer makan, belanja, dan paket wisata dengan nilai hingga Rp 225.000.

Apabila menggunakan voucer tersebut, masyarakat akan mendapatkan potongan harga ketika membeli produk wisata dan jasa perusahaan biro perjalanan wisata dan UMKM yang berpartisipasi dalam program Big Promo.

Program Big Promo cukup efektif dalam membantu asap dapur pelaku usaha tetap mengepul di masa pandemi karena potongan harga yang ditawarkan di dalam voucer mampu merangsang masyarakat untuk berbelanja dan berwisata.

Sayangnya, program Big Promo hanya berlangsung selama satu bulan saja. Pemerintah perlu membuat program kongkret seperti Big Promo karena pelaku industri dan masyarakat dapat langsung merasakan manfaatnya. Dan sebaiknya, program ini berlangsung lebih lama.

Kedua, pemerintah perlu membuat kebijakan kongkret untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk ekspor dan jasa. Kualitas jasa yang baik akan meningkatkan nilai transaksi perdagangan, dan sebaliknya, kinerja perdagangan barang yang efektif juga akan mendukung perdagangan jasa.

Memastikan bahwa pelaku sektor jasa siap dalam menghadapi era digitalisasi merupakan bagian dari peningkatan kualitas jasa yang pemerintah harus upayakan. Di sektor pariwisata, misalnya, masih banyak pelaku usaha yang belum mengadopsi sistem digital.

Salah satu langkah kongkret yang Kemenparekraf bisa ambil untuk memfasilitasi transformasi digital di sektor pariwisata ialah mengaktifkan kembali pasar digital dalam negeri seperti Indonesia Tourism Exchange dan Wonderin.id, dan ikut mempromosikan jasa agen perjalanan daring (OTA) karya anak bangsa seperti Hayo Travel.

Ketiga, pemerintah perlu lebih serius dalam memotong rantai birokrasi untuk memperbaiki iklim investasi dan menarik investor. Hingga saat ini, belum maksimal upaya kongkret pemerintah untuk menyederhanakan birokrasi.

Korsel saat ini merupakan investor kedelapan terbesar bagi Indonesia. LG Energy Solution, perusahaan baterai kendaraan listrik, baru-baru ini berinvestasi di Indonesia untuk membangun pusat industri sel baterai listrik kendaraan listrik terintegrasi pertama di dunia.

Sebelum LG, Hyundai Motor Company juga memilih Indonesia sebagai lokasi basis produksi di kawasan ASEAN.

Komitmen investasi dari LG dan Hyundai memang bisa memancing korporasi raksasa Korsel lain untuk berinvestasi di Indonesia. Akan tetapi, birokrasi yang masih rumit dan timpang tindih di Tanah Air bisa mendorong mereka mengurungkan niatnya untuk menanamkan modal di Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempercepat deregulasi dan debirokratisasi.

Menerapkan layanan elektronik merupakan bagian dari reformasi birokrasi, dan Indonesia berada di peringkat ke-88 pada 2020, menurut survei e-government yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 2018, Indonesia menduduki urutan ke-107 dari 193 negara.

Naiknya peringkat Indonesia menunjukkan perbaikan dalam layanan publik secara daring. Walakin, pemerintah tidak boleh cepat puas dan terlampau bangga karena Indonesia masih berada di belakang Vietnam (86), Filipina (77), dan Malaysia (47).

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar Indonesia siap menghadapi IK-CEPA.

https://money.kompas.com/read/2021/04/06/212027326/siapkah-indonesia-menghadapi-cepa-indonesia-korsel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke