Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemerintah Bakal Hapus Sanksi Pidana Pengemplang Pajak, Tepatkah?

Penghapusan sanksi pidana ini juga tercantum dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Lantas seberapa efektifkah pengenaan pidana untuk para pengemplang pajak?

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, pengenaan sanksi denda lebih relevan untuk pengemplang pajak. Pasalnya, tujuan pajak adalah mengejar penerimaan negara, bukan untuk memenjarakan orang.

Dia menyebut, memberikan sanksi pidana pada pengemplang pajak tidak menghasilkan keuntungan kepada pemerintah.

"Menurut saya memang lebih baik sanksi denda. Mempidanakan orang (pengemplang pajak) itu tidak ada untungnya bagi pemerintah," kata Piter saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/6/2021).

Kendati demikian, menghapus keseluruhan sanksi pidana bisa memunculkan masalah.

Piter merasa tak cukup memberikan sanksi denda ketika pengemplang pajak tak ingin membayar denda. Apalagi jika pengemplang pajak melakukan kesalahan terus-menerus.

"Saya kira tetap harus dibuka opsi terakhir bagi mereka yang terus-menerus bandel mengemplang pajak, dan juga tidak mau bayar denda," ungkap Piter.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga mengatakan hal serupa. Kebijakan pemerintah menghapus sanksi pidana dianggap sudah tepat.

Fajri mengungkapkan, isu ini adalah isu yang terus-menerus mendapat perhatian praktisi pajak. Dalam hukum pidana pajak, ada asas ultimum remedium, bahwa hukum pidana pajak diberlakukan sebagai upaya terakhir. Artinya, sanksi administratif memang harusnya perlu dioptimalkan.


Bila hukum pajak sebagai bagian dari hukum administrasi, maka hukumnya hatus dipandang sebagai hukum administrasi dan tak boleh berbelok ke arah pidana.

Sementara jika fungsi utama pajak sebagai fungsi budgataire, yakni sebagai sumber utama penerimaan pajak, maka fungsi pidana juga dinilai kurang tepat.

"Jika dialihkan menjadi sanksi administrasi, maka potensi penerimaan yang dihasilkan pemerintah akan lebih besar. Pada prinsipnya, undang-undang pajak lebih memberikan solusi penyelesaian pajak dengan menekankan pada aspek administratif melalui pembayaran pajak dengan sarana surat ketetapan pajak, bukan pada memidana wajib pajak," jelas Fajry.

Fajry menjelaskan, ada beberapa studi yang pernah mengkaji aspek pidana dengan fungsi budgetaire dari pajak.

Kesimpulannya, sanksi pidana dalam dalam sistem perpajakan di Indonesia, khususnya yang ada di dalam UU KUP, kurang efektif dan kontra produktif terhadap fungsi anggaran dari pajak dan pengembangan ekonomi dalam arti luas. Hal ini membuat efektifitasnya perlu dikaji.

Di samping itu, efek pidana akan memberikan dampak psikologis bagi wajib pajak yang merupakan pelaku ekonomi. Apalagi kata Fajry, sanksi adminsitrasi sudah mampu memberikan deterrent effect.

"Jika sanksi adminstrasi saja sudah mampu memberikan deterrent effect, lalu untuk apa perlunya sanksi pidana? Di sisi lain, dengan sanksi adminsitrasi pemerintah akan mendapatkan potensi penerimaan yang lebih besar," pungkas dia.

Mengutip draft RUU, penghapusan sanksi pidana diatur dalam beberapa pasal. Pasal 44C menyebutkan, pidana denda tak dapat diganti dengan pidana kurangan. Pengemplang pajak yang terkena pidana denda wajib membayar dendanya.

Pemerintah bakal memberikan waktu hingga 1 bulan untuk membayar denda setelah mendapat keputusan pengadilan yang inkrah. Jika tidak membayar, aset dari pengemplang pajak akan disita.

"Jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis draft RUU tersebut.

https://money.kompas.com/read/2021/06/09/085907626/pemerintah-bakal-hapus-sanksi-pidana-pengemplang-pajak-tepatkah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke