Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mafia Pelabuhan, Siapa Sih Mereka?

Inilah kali kedua “para dewa” negeri ini buka suara seputar isu kepelabuhanan. Sebelumnya, belum terlalu lama, Presiden Joko Widodo sendiri yang menyorotinya saat dia berdialog dengan para sopir kontainer yang mengeluhkan adanya pungutan liar (pungli) di dalam dan seputaran pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beliau ketika itu langsung menelepon Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk menyampaikan keluhan para sopir itu. Kendati berbeda strata di pemerintahan, yang satu anak buah dan mitra, yang lainnya bos besar, namun pesan yang disampaikan jelas: bahwa pelabuhan menjadi sarang kegiatan kelam. Ada permafiaan dan pungli di sana.

Melihat interval waktu antara pertemuan Presiden Jokowi dengan para sopir kontainer dan pernyataan Menkomarves Luhut B Pandjaitan serta Ketua KPK Firli Bahuri soal mafia pelabuhan, sepertinya ada upaya serius menghabisi masalah ini.

Atau, bisa juga, masalah ini sebenarnya tidak bisa diselesaikan. Dan, pernyataan bahwa ada pungli dan mafia di pelabuhan yang diselatankan oleh para pejabat itu tak lebih dari ungkapan keputusasaan mereka dalam mengatasinya.

Entahlah. Namun, satu yang jelas, pelabuhan-pelabuhan kita memang ada masalah. Bukan hanya satu-dua tetapi banyak dan bersifat multidimensional. Upaya untuk menyikatnya pun sudah berlangsung sejak dulu. Dari masa Presiden Soeharto hingga kini. Tetapi problemnya tetap tak terpecahkan.

Presiden RI kedua itu dicatat sejarah pernah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. Konon katanya, saat itu untuk mengurus impor-ekspor pengusaha harus melewati sekitar 42 meja di instansi Bea dan Cukai.

Melalui aturan dimaksud urusan kepabeanan dipercepat dengan menyerahkannya kepada perusahaan Suisse Generale Surveillance atau SGS. Pegawai BC-nya dirumahkan dengan tetap digaji.

Pada 2016, ketika mengunjungi pelabuhan Tanjung Priok Presiden Jokowi pernah mengkritik tingginya dwelling time (DT) di pelabuhan yang masih berkisar antara 3,2 hingga 3,7 hari. Sejurus kemudian, merespons hal itu dibentuklah satuan tugas DT di lembaga kepolisian oleh pimpinan Polri.

Sejak dibentuk, satgas berhasil menggulung aktor-aktor pungli di berbagai pelabuhan di Tanah Air beserta uang haramnya yang bernilai milyaran rupiah. Mereka pun dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sepertinya di dalam tingginya dwelling time terdapat aktivitas pungli yang tinggi. Sayang, putusan hakim tidak sepenuhnya memuaskan; malah ada yang divonis bebas.

Siapa mafia pelabuhan?

Pertanyaanya sekarang, siapa mafia pelabuhan yang dituding oleh para pejabat? Menjawabnya jelas sesuatu yang sulit. Namanya saja mafia. Karenanya saya hanya akan menyoroti bagaimana mafia itu muncul di pelabuhan. Selebihnya biarlah pembaca yang menyimpulkan siapa mereka itu.

Mafia pelabuhan berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Pelabuhan adalah ladang bisnis yang sangat mengiurkan dengan jumlah perputaran uang yang luar biasa besarnya.

“Harta” sebagus itu sayang dilewatkan begitu saja; ia perlu dibagi rata di antara sesama pemain. Bahkan, preman pun, mulai dari yang berdasi rapi hingga yang hanya bersendal jepit dan berbaju seadanya, dapat jatah atau bisa mengambil jatah dari bisnis kepelabuhanan nasional.

Dari power sharing kemudian menjadi profit sharing. Ini seperti dua sisi mata uang koin. Sulit menentukan sejak bila keduanya muncul.

Di pelabuhan ada fungsi kepemerintahan, yaitu quarantine, immigration, customs (QIC). Di sisi lain, ada badan usaha pelabuhan atau BUP. Pihak pertama sering disebut regulator sementara yang terakhir merupakan operator.

Regulator dalam arti sempit sejatinya adalah aparat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang ada di pelabuhan – Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan. Sementara dalam arti luas adalah semua instansi pemerintah yang ada atau kewenangannya menyentuh pelabuhan. Termasuk QIC tadi.

Sedikit soal urusan sentuh-menyentuh pelabuhan, setidaknya ada 13 instansi yang terlibat dalam proses ekspor-impor barang di pelabuhan. Fasilitas ini betul-betul highly regulated.

Dualisme operator-regulator adalah fakta paling keras bagaimana power sharing itu berlangsung di pelabuhan. BUP dikerangkeng hanya sebagai operator dan diposisikan untuk mencari duit sebanyak-banyaknya. Mereka tidak boleh mengeluarkan hal-hal yang berbau regulasi. Contoh, untuk urusan tarif saja saja harus dilaporkan dulu ke regulator untuk dikeluarkan aturannya.

Jika tidak, bisa panjang urusannya. Dari hubungan yang asimetris tadi lama-lama berkembang filosofi “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah”. Dari sisi kehadiran fisik regulator di pelabuhan juga menyampaikan pesan bahwa mereka sangat powerful. Lihatlah kantor-kantor instansi QIC di pelabuhan, hampir semuanya berukuran besar.

Apa way out bagi masalah mafia dan pungli yang membelit pelabuhan? Saya menyarankan agar dirobohkan dulu fondasi kekuasaan dan ekonomi yang ada di pelabuhan saat ini. Kalau tidak, jangan harap masalah tersebut akan tuntas hingga ke akarnya.

Dari mana memulainya?

Amendemen seluruh perundang-undangan yang hilirnya sampai di dalam pelabuhan. Tujuannya untuk mengurangi pihak-pihak yang memiliki “taring” di pelabuhan.

Setelah itu, dirikan sebuah lembaga yang terintegrasi, tunggal, dan berkuasa penuh di pelabuhan. Kepada badan inilah seluruh aktivitas quarantine, immigration, customs didelegasikan. Mohon dicatat, didelegasikan bukan dihilangkan.

Instansi QIC tetap bisa masuk ke pelabuhan tetapi hanya untuk mengurusi kasus-kasus besar semisal penyelundupan dan wabah menular.

Di samping itu, badan itu juga merupakan badan usaha yang dapat menjalankan roda bisnis kepelabuhanan. Banyak contoh di dunia ini di mana regulator dan operator berada dalam satu kamar yang sama. Port of Rotterdam misalnya.

Dikaitkan dengan revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo, barangkali inilah revolusi yang harus diselesaikan. Pelabuhan kita harus direvolusi, bukan direformasi karena selama ini reformasi itu tidak efektif.

Preman sudah digulung karena pungli di pelabuhan oleh Polri namun tidak mafia. Tetapi mereka berdua hanyalah gejala bukan penyakitnya. Jadi jangan salah fokus!

https://money.kompas.com/read/2021/11/22/050700826/mafia-pelabuhan-siapa-sih-mereka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke