Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Paradoks "Kecanduan" Inflasi

Perusahaan-perusahaan yang mencengkram pangsa pasar akan mendulang profit yang besar di kala harga-harga melejit. Krugman menyebutnya dengan istilah “kecanduan inflasi” yang membuat harga melonjak tak terkendali.

Sejalan dengan itu, Ketua Federal Reserves Amerika Serikat (AS), Jerome Powell, dalam Simposium Jackson Hole menyatakan, saat inflasi tinggi, akan semakin banyak pihak yang mengharapkan inflasi tetap tinggi (Bloomberg, 26/8/2022).

Ini yang menyebabkan akar kecanduan inflasi semakin dalam. Semakin lama inflasi tinggi mencengkram masyarakat, semakin besar pula ekspektasi tinggi inflasi akan tertanam.

Untuk meredam lonjakan tersebut, AS telah menyetujui The Inflation Reduction Act yang diklaim sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Inflasi dalam jangka panjang.

Meski menuai banyak kritikan, langkah legislasi itu ditempuh sebagai kebijakan pelengkap mengekang inflasi jangka panjang, memerangi perubahan iklim, menurunkan biaya perawatan kesehatan, dan mengurangi defisit anggaran.

Fokus utama RUU Pengendalian Inflasi itu menyokong subsidi energi terbarukan (green subsidies) dan meluruhkan permintaan masyarakat pada energi fosil. Pemerintah berusaha menjadi penengah pasar dan menekan beban harga bahan bakar minyak (BBM) yang dibayar konsumen.

Saat harga BBM naik, perusahaan memiliki kekuatan untuk menaikkan harga demi meminimalkan penurunan pendapatan (minimize earnings declines), alias berkepentingan melindungi keuntungan (protect profits). Perusahaan tidak akan punya pilihan selain meneruskan beban inflasi itu kepada konsumen.

Upaya tersebut menyiratkan bahwa betapa pentingnya intervensi pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. Selama ini, terbatasnya ruang resonansi publik bagi konsumen serta lemahnya perlindungan konsumen membuat banyak perusahaan memanfaatkan inflasi sebagai momen mendulang profit melimpah.

Korporasi berpeluang melakukan eksploitasi asimetri informasi dengan memanfaatkan inflasi sebagai alasan untuk menaikkan harga melebihi ekspektasi konsumen.

Jika perusahaan menanggung kenaikan akumulasi biaya produksi yang menyebabkan margin keuntungan terkikis, maka mereka akan bertumpu pada inflasi untuk menebus kenaikan biaya masa lalu dan untuk kenaikan biaya masa depan yang diharapkan.

Bahkan, perusahaan ikut menaikkan harga produk meski biaya yang dikeluarkan tidak terpengaruh masalah rantai pasokan atau inflasi secara langsung. Inilah yang menyebabkan inflasi tak lagi bersifat sementara (transitory) dalam jangka pendek. Kondisi ini tentu akan memicu fenomena greedflation.

Fenomena greedflation

Greedflation adalah inflasi yang dipicu kenaikan harga yang tidak wajar (price-gouging) dari perusahaan yang ingin meraup profit secara berlebihan. Dengan kata lain, perusahaan merasa berhak mengambil keuntungan atas harga yang lebih tinggi karena tekanan inflasi.

Hal tersebut menjadi alasan mendasar di balik kenaikan biaya barang dan jasa. (Konczal, 2022).

Jika ditelisik lebih lanjut, fenomena-fenomena seperti itu sejatinya konsekuensi logis dari fokus inflasi yang selama ini hanya terpaku pada aspek kuantitatif semata. Perhitungan inflasi tidaklah keliru dan memang lazim dilakukan banyak negara di dunia.

Kepraktisan dan komparabilitas menjadi alasan umum yang bisa diterima. Namun, di balik argumen tersebut, tersimpan kelemahan yang sangat mendasar.

Pokok persoalannya, perhitungan angka inflasi sama sekali tak mengalkulasi dimensi perilaku pasar dan kualitas produk. Angka Inflasi tak mampu menangkap fenomena-fenomena manipulatif yang dilancarkan produsen untuk mendongkrak profit di tengah inflasi.

Shrinkflation, misalnya, yakni strategi menjaga biaya tetap agar terkendali dengan mengurangi ukuran produk di tingkat harga yang sama.

Di Indonesia, fenomena-fenomena tersebut sudah perlu diwaspadai sebab lonjakan Indeks Harga Produsen (IHP) pada kuartal II/2022 telah menyentuh 11,77 persen secara tahunan (yoy). Ini merupakan indikasi yang cukup signifikan terkait lonjakan inflasi dari sisi penawaran.

Alarm biaya produksi meningkat telah menyala, sehingga produsen sudah mengalami tekanan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan kondisi sebelumnya. Tingkat harga produsen yang lebih tinggi tersebut akan berdampak langsung pada harga di level konsumen di masa mendatang.

Jika dibandingkan, IHP saat ini tercatat lebih rendah dari IHK. Hal ini dikarenakan produsen masih belum menaikkan harga di tingkat konsumen, karena masih tertahan oleh subsidi dan kompensasi energi yang diberikan pemerintah.

Selisih antara inflasi IHP dan IHK ke depan akan menyempit karena konsumen akan menanggung biaya limpahan produsen (pass-through) yang signifikan akibat subsidi yang secara perlahan akan dikurangi pemerintah.

Hal itu menyebabkan profit margin perusahaan kian tipis dan produsen tak segan melimpahkan harga ke konsumen. IHK bisa naik cukup drastis.  Inilah yang perlu kita antisipasi dalam beberapa waktu ke depan.

Paradoks upah dan inflasi

Namun di sisi lain, laporan tengah tahun CEIC Data menunjukkan margin laba yang diinginkan (expected profit margin) perusahaan tumbuh rata-rata 15,31 persen pada Juni 2022. Rekor ini naik dari angka sebelumnya sebesar 15,18 persen pada Desember 2021.

Tentu saja kondisi itu merupakan paradoks, dimana rata-rata perusahaan masih menikmati profit tinggi di tengah inflasi yang semakin tinggi.

Selama ini, inflasi menjadi salah satu “kambing hitam” korporasi sebagai alasan untuk tidak menaikkan besaran upah minimum. Padahal saat perusahaan berhasil mendulang untung, maka ruang ekspansi bisnis dan reinvestasi seharusnya semakin luas.

Profit tinggi dapat diinvestasikan kembali untuk memperbaiki seluruh masalah warisan saat pandemi melanda. Maka sudah saatnya upah minimum provinsi (UMP) 2023 menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang tergerus inflasi.

Dalam situasi yang semakin normal, ketika terjadi kenaikan harga kebutuhan atau biaya hidup, maka tuntutan kenaikan upah merupakan hal yang sangat wajar. Implikasi rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sudah tinggi juga menghambat pemulihan ekonomi.

Ke depan, polemik kenaikan upah diharapkan tak lagi mewarnai pembahasan dan penetapan UMP. Persoalan UMP memang merupakan persoalan penting bagi kesejahteraan kaum pekerja dan keberhasilan dunia usaha.

Sebagai subjek penting dalam pengelolaan usaha, sudah seharusnya nasib buruh mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, termasuk hak UMP yang layak. Namun, diperlukan ketulusan dan kejujuran dari semua pihak yang membicarakan UMP atas nama buruh, pengusaha, dan pemerintah.

https://money.kompas.com/read/2022/09/05/175038526/paradoks-kecanduan-inflasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke