Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hilirisasi sebagai Strategi Dekolonisasi Ekonomi

Sebetulnya, sejak 2009 lewat Undang-Undang (UU) Nomor Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah Indonesia punya mimpi untuk melakukan hilirisasi. Sayang sekali, karena lemahnya kemauan politik pemerintah saat itu dan tekanan dari pihak luar, terutama WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia dan perusahaan multinasional, kebijakan hilirisasi tertunda.

Sekarang, kebijakan hilirisasi nikel bukan tanpa rintangan. Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO. Hasilnya, Indonesia dianggap telah melanggar sejumlah pasal dalam General Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994.

Kabar baiknya, pemerintah Indonesia bergeming. Presiden Joko Widodo (Jokowi) keukeuh melanjutkan kebijakan hilirisasi.

“Jangan berpikir negara kita akan menjadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita,” kata Presiden Jokowi saat berpidato di Mandiri Investment Forum (MIF) 2023, 1 Februari 2023.

Model Ekonomi Kolonial

Tahun 1946, saat berbicara dalam forum Konferensi Ekonomi, Bung Hatta menyimpulkan struktur dasar ekonomi kolonial yang disebutnya “ekonomi ekspor”. Menurut Bung Hatta, Hindia-Belanda tak lebih dari sebuah onderneming (perkebunan) besar, yang mengekspor bahan mentah yang dibutuhkan pasar dunia.

Presiden ke-3 Indonesia, BJ Habibie, menyebut model ekonomi yang bergantung pada ekspor bahan mentah sebagai “neokolonialisme VOC dengan baju baru”.

Menurut Habibie, ekspor bahan mentah tak ubahnya pengalihan kekayaan dari suatu negara ke ke negara lain. Sebab, ketika hasil sumber daya alam diekspor dalam bentuk mentah, maka nilai tambah dan jam kerja dinikmati oleh negara lain.

Dalam khazanah literatur di Amerika Latin ada istilah untuk menggambarkan fenomena itu, yaitu ekstraktivisme. Ekstraktivisme diartikan sebagai ekstraksi sumber daya alam, baik minerba, migas, perkebunan, pertanian, dan perikanan, lalu dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia (Gudynas, 2009).

Model ekonomi ini sudah berusia 500-an tahun. Kelahirannya beriringan dengan sejarah kolonialisasi Eropa terhadap bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menguasai tanah dan perdagangan komoditas dunia.

Model ekonomi ini juga mewakili pembagian kerja ekonomi global yang sudah usang: negara pinggiran (periferi/negara bekas jajahan dan berkembang) menjadi pemasok bahan mentah/bahan baku bagi industri di negara inti (negara-negara industri maju).

Ekstraktivisme membawa banyak penyakit. Pertama, model ekonomi ini tidak menciptakan nilai tambah. Proses akumulasi keuntungannya sangat berkaitan dengan kemampuan untuk menekan biaya investasi dan produksi.

Tak mengherankan, sektor ekstraktif banyak diwarnai praktik suap dan rente, sejak dari tender, perizinan, pajak, ekspor, dan lain-lain.

Kedua, ekstraktivisme berkaitan dengan isu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), yang kerap menyandera ekonomi Indonesia setiap tahun. Di satu sisi, ekspor bertumpu pada komoditas primer yang harganya mengalami volatilitas. Di sisi lain, industri dalam negeri mengalami ketergantungan impor bahan baku.

Ketiga, ekstraktivisme tak membutuhkan sumber daya manusia (SDM) berketerampilan tinggi. Walhasil, negara yang terjebak dalam ekstraktivisme kerap tidak serius melakukan investasi untuk menciptakan tenaga kerja terampil.

Keempat, ekstraktivisme tidak berkelanjutan. Kegiatan ekstraktivisme, seperti tebang, gali, dan ekstraksi berpotensi mengganggu lingkungan.

Kebutuhan lahan yang luas juga mendorong alih-fungsi lahan secara besar-besaran. Ekstraktivisme hanya menghasilkan kutukan sumber daya (resources curse), negeri kaya sumber daya alam yang terjebak dalam kemiskinan, disfungsi politik akibat korupsi, dan kepungan bencana alam akibat kerusakan lingkungan.

Manfaat Hilirisasi

Model ekonomi ekstraktif harus diakhiri. Selain karena membawa banyak dampak negatif, model ekonomi itu masih merupakan warisan dari kolonialisme.

Dalam konteks itu, hilirisasi tak bisa dimaknai sekadar sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki negeri kita. Lebih penting dari itu, hilirisasi harus diletakkan sebagai strategi dekolonisasi ekonomi.

Hilirisasi akan mengakhiri kisah Indonesia sebagai penyuplai bahan baku murah bagi negara kapitalis maju. Hilirisasi juga membuat Indonesia akan naik kelas dari negara berkembang dan penampung produk dari negara maju menjadi negara industri maju.

Hilirisasi akan memungkinkan negara menaikkan nilai tambah sebuah komoditas hingga berkali-kali lipat. Setoran ke kas negara dari tata-kelola sumber daya alam (SDA) juga meningkat. Lapangan industri baru dan penyerapan tenaga kerja juga meningkat.

Lebih penting dari itu, hilirisasi akan menyediakan dasar bagi industrialisasi. Hilirisasi akan memasok kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku. Ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor masih mencapai 70-75 persen.

Dalam kasus nikel, manfaatnya langsung terasa. Nilai tambah dari ekspor nikel meningkat pesat dari 1,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 30-33 miliar dolar, atau dari kira-kira Rp 18 triliun menjadi Rp 450 triliun (pidato Presiden Jokowi di MIF 2023).

Pemerintah memproyeksikan, pada 2045 nanti hilirisasi akan membawa PDB Indonesia pada angka 9-11 triliun dolar, dengan PDB (produk domestik bruto) per kapita sudah di kisaran 21.000-29.000 dolar. Kalau hal ini benar terwujud, Indonesia sudah masuk kategori negara maju.

Hilirisasi akan memaksa pemerintah Indonesia menyiapkan SDM yang lebih terampil dan terdidik. Keuntungan berlipat ganda dari tata-kelola SDA akan memberi ruang fiskal yang besar untuk investasi di sektor pendidikan dan kesehatan.

Terakhir, hilirisasi memungkinkan pemerintah mengintegrasikan tata kelola SDA dengan agenda industrialisasi nasional. Dengan begitu, tidak ada lagi jebakan enclave economy, yaitu kegiatan ekonomi/industri berorientasi ekspor yang terpisah atau tidak terintegrasi dengan sektor ekonomi nasional lainnya.

Kita sungguh berharap, saat Indonesia merayakan seabad usia kemerdekaan nanti, ekonomi nasional kita sudah merdeka dari ekstraktivisme. Kita sudah beranjak menjadi negara industri maju, yang rakyatnya bisa adil dan makmur.

https://money.kompas.com/read/2023/04/26/121548526/hilirisasi-sebagai-strategi-dekolonisasi-ekonomi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke