Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tantangan Melembagakan Kreativitas dan Inovasi

Pertanyaan yang lebih penting adalah ‘Quid Fecimus?’ (kita sudah melakukan apa? what have we done?).

Berdasarkan laporan Indeks Inovasi Global 2022 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO), Indonesia meraih skor 27,90 dan menempati peringkat 75 dari 132 negara.

Itu ada di separuh bagian bawah bila mengacu pada jumlah negara yang masuk dalam indeks inovasi global. Sangat tidak menggembirakan.

Bicara soal inovasi kadang bikin pusing. Bukan pendanaan, itu nanti. Bukan juga policy, itu bisa sambil jalan.

Namun innovation culture, ini yang harus diprioritaskan. Inovasi identik dengan kreatifitas, berpikir merdeka, nyali yang luar biasa besar, dan spirit eksplorasi tanpa henti.

Bagaimana mungkin hal-hal itu dilembagakan, di-institusionalisasikan? Bagaimana caranya melembagakan kreatifitas? Atau mengatur ‘kegilaan bereksplorasi’?

Mari kita ambil contoh. Dalam konteks negara Amerika, memang betul beberapa inventor teknologi tiga dekade terakhir banyak lahir dari lingkungan riset akademis seperti di Harvard, Stanford, MIT, CalTech dan beberapa yang lain.

Namun credit tak bisa diklaim sendirian oleh institusi-institusi pendidikan tersebut. Inovasi lahir dari keseluruhan kultur yang terbentuk karena kolaborasi masif antara dunia pendidikan, industri, komunitas, dan warga masyarakat yang mendorong inovasi lokal dengan cara mempergunakannya, serta bermurah-hati membelinya.

Bahkan di Amerika, pemerintah negara bagian – alih-alih pemerintah Federal – baru datang belakangan khusus hanya untuk membantu akses proyek riil pemerintah atau pendanaan negara. Untuk proyek non-pemerintah, diserahkan kepada ‘kreatifitas’ masing-masing.

Anggaran R&D Presiden Biden tahun 2023 – seperti dikutip dalam pernyataannya – merefleksikan “Amerika yang berinvestasi pada Sains, Teknologi, serta Inovasi Amerika demi Mencapai Aspirasi Terbesar Bangsa Kita” (ref: www.whitehouse.gov dirilis 13 Maret 2023)

Anggaran R&D Presiden Biden 2023 ini termasuk 210 miliar dollar AS untuk penelitian dan pengembangan Federal (R&D), investasi terbesar yang pernah ada untuk R&D skala Federal.

Anggaran ini ditujukan untuk memperkuat lembaga litbang negara (nah berarti ada lembaga negara untuk urusan riset), termasuk lebih dari 100 miliar dollar AS bagi penelitian dasar serta terapan yang telah menjadi ciri khas mesin inovasi Amerika yang telah menciptakan kecemburuan bagi dunia.

Mari diperhatikan, 210 miliar dollar AS itu setara dengan Rp 3.150 trilliun! Itu lebih besar daripada APBN 2023 kita sebesar 3.061 trilliun!

Beberapa kementerian di Amerika membiarkan swasta yang mengerjakan R&D untuk negara, misal DARPA – Defense Advanced Research Project Agency (salah satu agensi di bawah Kemenhan Amerika) yang memberikan kontrak kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk melakukan penelitian dan memproduksi peralatan tempur serta sistemnya.

MIT, CalTech dan Georgia Tech adalah tiga contoh dari beberapa institusi akademik swasta yang beberapa kali memenangkan kontrak riset hankam Amerika.

Perusahaan-perusahaan seperti Lockheed Martin, Northrop Grumman, Boeing, Raytheon dll lebih sering lagi memenangkan tak hanya R&D-nya, namun sampai pada produksi hasil R&D mereka.

Bahkan peneliti perseorangan seperti Alexander Shcolnik dan ayahnya pernah memenangkan kontrak DARPA jutaan dollar AS untuk suatu produk engineering di Kemenhan.

Inovasi tidak semata lahir dari kebijakan, atau pendanaan, atau ambisi orang perseorangan dan korporasi, namun gabungan dari kesemuanya itu yang akhirnya membentuk kultur inovasi.

Dalam skala mikro – di perusahaan-perusahaan – inovasi internal yang berharga tak mungkin lahir dari beberapa staf yang dikirim training ke Silicon Valley lalu kembali dan membawa pulang hanya pengetahuan saja.

Kedatangan mereka kembali ke perusahaan di tanah air harus ditindak-lanjuti dengan dibentuknya wadah dan lingkungan yang sesuai bagi mereka untuk ‘mulai baru’ (start afresh).

Mereka harus ‘tetap tergila-gila’ seperti saat mereka – katakanlah – masih berada di Silicon Valley, atau studi di pusat-pusat teknologi dunia lainnya. Bisakah pemangku kepentingan inovasi dan penelitian menjaga ‘kegilaan’ itu?

Jangan senang dulu kalau jumlah paten naik

Nah, ini juga kelemahan kita semua. Jumlah paten baru yang didaftarkan oleh satu negara dalam periode satu tahun memang dapat merefleksikan bagaimana riset dan inovasi menjadi prioritas suatu negara.

Namun paten di dalam dirinya sendiri adalah netral, ia adalah satu nomor terdaftar yang menyatakan bahwa sebuah temuan saintifik dan engineering baru (termasuk desain dan cara kerja baru) telah terjadi dan dilahirkan oleh seseorang atau sebuah institusi, yang lalu dicatat oleh lembaga yang berwewenang. Itu saja.

Paten tidak selalu mencerminkan secara linear apakah sebuah budaya inovatif telah terbentuk. Ini sama dengan mahasiswa S1 yang wajib menulis thesis atau skripsi, meski dengan tuntutan novelty – kebaruan gagasan atau temuan – tidak serta merta menjadikan karya tulisnya sebagai ‘sebuah kontribusi dengan terobosan besar yang aplikatif’.

Nyatanya banyak sekali skripsi yang berakhir di perpustakaan tanpa ada kajian lanjutan dengan tujuan terapan.

Masalah dana? Belum tentu. Masalah kemauan? Rasa-rasanya begitu. Kulturnya belum terbentuk untuk tergila-gila mewujudkan gagasan ke dalam terapannya.

Tulisan ini terlalu pendek untuk merangkum semua kepedulian dan keresahan tentang Budaya upaya inovasi di negeri ini.

Namun melalui tulisan ini, penulis yang sehari-hari berkutat dengan daya upaya inovasi di corporate ingin mengajak semua stakeholder – swasta dan pemerintah, akademik dan industri - untuk lebih fokus pada daya upaya melahirkan kultur inovasi yang lebih masif secara lebih baik, sistematis, dan terstruktur.

China dan Vietnam bisa jadi benchmark-nya. Korea saya kira sangat baik untuk jadi referensi juga. Baru kita bertanya kembali, ‘Quid Fecimus’, …what have we done?

https://money.kompas.com/read/2023/06/13/134917026/tantangan-melembagakan-kreativitas-dan-inovasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke