Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tiktok Dikabarkan Siapkan 'Project S', Jual Produk Sendiri Dikirim dari China

JAKARTA, KOMPAS.com - TikTok dikabarkan mulai menjual produknya sendiri di Inggris melalui fitur 'Trendy Beat', menurut laporan Financial Times. Langkah ekspansi TikTok ini disebut-sebut sebagai upaya untuk menyaingi Shein dan Amazon.

Dalam beberapa minggu terakhir, pengguna di Inggris mulai melihat fitur belanja baru di aplikasi TikTok yang diberi nama ‘Trendy Beat’. Fitur ini menjual produk-produk yang sedang populer.

Beberapa produk populer yang dipajang pada fitur itu, di antaranya alat pembersih telinga dan penyikat bulu hewan peliharaan dari pakaian.

"Semua produk yang dipajang di fitur Trendy Beat dikirimkan dari China. Penjualnya merupakan perusahaan yang terdaftar di Singapura, tetapi tercatat dimiliki oleh ByteDance,” ungkap sumber yang mengetahui operasi itu, dikutip dari Financial Times, Jumat (23/6/2023).

Penjual produk-produk pada fitur ‘Trendy Beat’ adalah Seitu, menurut tautan yang dipasang pada fitur itu. Seitu yang terdaftar di Singapura terhubung dengan If Yooou, yakni bisnis ritel milik ByteDance.

Adapun ByteDance sendiri merupakan induk TikTok yang berbasis di Beijing, China. Kepala Anti-Penipuan dan Keamanan E-Commerce Global TikTok di Singapura, Lim Wilfred Halim, terdaftar sebagai Direktur Seitu.

Menurut sumber, model penjualan yang dilakukan TikTok mirip seperti yang dilakukan Amazon, yakni membuat dan mempromosikan produknya sendiri yang populer. Langkah itu menjadi perubahan besar dari model penjualan TikTok.

Saat ini di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, vendor lain bisa menjual barang melalui TikTok Shop, dan aplikator mengambil sedikit komisi dari penjualan itu. Namun, komisi dari penjualan yang dilakukan di fitur ‘Trendy Beat’ TikTok, sepenuhnya akan dimiliki oleh ByteDance.

"Upaya untuk mulai menjual produknya (TikTok) sendiri dikenal secara internal sebagai 'Project S'", menurut enam sumber yang akrab dengan pembicaraan di internal.

Mereka menambahkan, ByteDance sedang membangun unit ritel online untuk menyaingi Shein, e-commerce 'fast fashion' asal China, dan e-commerce yang menjual produk murah milik Pinduoduo, Temu.

Adapun 'Project S' dipimpin oleh Bob Kang, Kepala e-commerce ByteDance.

"Ia baru-baru ini melakukan perjalanan dari Shanghai untuk berkoordinasi dengan kantor TikTok di London,” ujar dua karyawan yang menjadi sumber.

Terkait hal itu, TikTok hanya mengatakan, Kang berada di Inggris karena sejumlah alasan, dan sudah melaporkannya kepada Kepala Eksekutif Aplikasi, Shou Zi Chew.

Menurut dua karyawan ByteDance yang menjadi sumber, perusahaan saat ini sudah merekrut karyawan dari Shein untuk menggenjot bisnis e-commerce.

“Bob Kang terobsesi dengan Temu dan meniru kesuksesannya. Menurutnya, mereka (TikTok) dapat melakukan ini dengan memasukkan diri mereka ke dalam bagian pemasok dan penjual," kata sumber lainnya di Inggris yang mengetahui strategi tersebut.

Project S memanfaatkan pengetahuan TikTok tentang produk viral di aplikasi. Ini memungkinkan ByteDance memperoleh atau membuat barang-barang itu sendiri.

"Kemudian perusahaan akan gencar mempromosikan produk yang ada di ‘Trendy Beat’ dibandingkan barang yang dijual oleh pesaing di aplikasi TikTok,” kata sejumlah sumber.

TikTok mengatakan, perusahaan sedang menguji fitur 'Trendy Beat' tersebut.

“Kami selalu mencari cara baru untuk meningkatkan pengalaman komunitas. Kami dalam tahap awal bereksperimen dengan fitur belanja baru,” kata pihak TikTok.

Menurut laporan Financial Times, Induk Tiktok, ByteDance sedang mencari pendapatan baru untuk memperbesar valuasi menjadi 300 miliar dollar AS, yang akan menjadikannya sebagai startup swasta paling bernilai di dunia.

Pemerintah perlu meregulasi sosial-commerce

Saat ini, layanan TikTok di Indonesia memang tidak menyediakan fitur 'Trendy Beat'. TikTok sendiri belum menyatakan kemungkinan fitur itu akan hadir di negara mana saja, selain di Inggris.

Meski begitu, fenomena strategi ekspansi bisnis yang dilakukan TikTok dinilai tetap perlu diantisipasi oleh Indonesia. Sebab, dapat menimbulkan kerugian bagi para penjual di dalam negeri, terutama UMKM.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, jika 'Project S' milik TikTok itu nantinya diterapkan, terlebih di Indonesia, maka pelaku UMKM dalam negeri akan tergeser oleh produk-produk impor.

"Ini akan sangat merugikan pelaku UMKM. Nah ini jangan sampai terjadi, makannya sosial-commmerce ini harus diawasi dnegan ketat, harus diregulasi layaknya seperti platform lainnya, perlu diatur berapa porsi barang impornya," ungkapnya kepada Kompas.com, Jumat (23/6/2023).

Bhima menekankan, pemerintah perlu mengantisipasi potensi penjualan produk impor dari sosial-commmerce. Oleh sebab itu, rencana investasi TikTok di Indonesia perlu dicermati agar tidak menjadi peluang untuk melonggarkan aturan bagi palatform tersebut.

Menurutnya, upaya untuk melindungi pelaku UMKM yang berjualan di TikTok dapat dilakukan pemerintah dengan memperhatikan keamanan data, algoritma yang digunakan, perlindungan konsumen dan penjual, hingga produk-produk apa saja yang dijual.

"Soal perpajakan juga, ini harus betul2 diperketat aturannya, harus level playing field yang sama dengan platform lainnya," kata Bhima.

https://money.kompas.com/read/2023/06/23/211000826/tiktok-dikabarkan-siapkan-project-s-jual-produk-sendiri-dikirim-dari-china-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke