KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

Beban Emosi Pemimpin

DALAM media sosial, kita sering melihat perseteruan antarindividu, bahkan tokoh-tokoh publik. Beragam reaksi dapat kita amati dari para individu yang berseteru. Ada yang semakin emosional berusaha untuk saling membalas, tetapi juga ada yang menanggapi dengan tenang sampai mengundang simpati.

Sosiolog Arlie Hochshild mengungkapkan istilah “pekerja emosional” yang merujuk kepada individu yang menanggung beban emosional karena sifat pekerjaannya.

Contoh paling umum adalah para petugas servis yang selalu berada di garis depan untuk berhubungan langsung dengan pelanggan. Mereka menghadapi beragam keluhan pelanggan terhadap permasalahan yang solusinya bisa jadi ada di luar kontrol mereka.

Hal yang sering terlupakan adalah banyak pembahasan tentang bagaimana pemimpin mengakibatkan stres pada bawahan. Pemimpin yang dianggap memiliki kuasa lebih besar untuk bersikap dan bertindak.

Kita sering kali lupa bahwa mereka pun memiliki beban emosional untuk mengambil keputusan dalam situasi yang masih tidak jelas. Mereka juga kerap mengambil keputusan tidak populer yang sering kali tidak dipahami oleh bawahannya sehingga harus menerima pandangan kekecewaan dari mereka.

Para pemimpin juga harus menerima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya, baik yang tidak disengaja maupun disengaja sekalipun.

Mereka dituntut untuk selalu menjadi panutan, menunjukkan empati, dan dapat mengayomi anak buahnya. Kita sering kali lupa bahwa mereka adalah manusia biasa yang mungkin sedang mengalami stres dan membutuhkan waktu untuk diri mereka sendiri.

Tuntutan kepada pemimpin tidak sekadar pada keterampilannya dalam mengelola kinerja organisasi, tetapi juga bagaimana ia mengelola kekuatan emosinya.

Sebagai personifikasi organisasi, kegagalan pemimpin dalam mengelola sikap empatinya dapat merusak reputasinya, bahkan kehilangan jabatan akibat tekanan publik.

Menghadapi berbagai situasi ekonomi, politik, perubahan iklim, dan kesehatan lingkungan belakangan ini, para pemimpin semakin perlu menguatkan sejumlah keterampilan dalam mengelola kekuatan emosinya.

1. Setiap pemimpin harus siap menghadapi krisis demi krisis

Krisis tidak menunggu antrean. Belum selesai pandemi menghantam, situasi panas Rusia-Ukraina sudah menghampiri. Belum lagi perang dingin China dengan negara-negara barat yang terus memberikan tekanan pada situasi ekonomi.

Dalam situasi yang serba tidak jelas, pemimpin harus berani mengambil tindakan dan tentunya menanggung risiko dari keputusannya tersebut.

2. Pemimpin dituntut peduli dengan isu-isu sosial dan lingkungan

Di samping memenuhi harapan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mencetak keuntungan, seorang pemimpin perlu memperlihatkan empatinya terhadap kondisi sosial dan lingkungan sekitarnya. Kelancaran hubungan eksternal menjadi kunci penting kesuksesan organisasi.

Sebuah perusahaan makanan ringan sehat, KIND, memiliki misi untuk memberdayakan pelanggannya agar berbuat hal-hal baik, yaitu dengan berbuat baik pada tubuh mereka sendiri melalui konsumsi makanan sehat dan berbuat baik kepada komunitas.

Chief Executive Officer (CEO) KIND Daniel Lubetzky pernah membuat sebuah perusahaan yang memungkinkan para tetangga di daerah konflik di Timur Tengah untuk membuat dan menjual makanan bersama.

Ia juga mendonasikan 25 juta dollar AS kepada kelompok advokasi yang memiliki misi meningkatkan kesehatan masyarakat.

“I’m on my fourth business now – it has become clearer that empathy and kindness offer a distinct competitive advantage. When I understand people with ease, I can accomplish more in both my business and my private life,” tuturnya.

3. Pemimpin dituntut tampil tulus dan autentik

Masa-masa pemimpin menutup pintu ruang kerjanya dengan dalih sibuk dan tidak mau diganggu sudah tidak populer lagi saat ini. Transparansi justru menjadi tren saat ini.

CEO Microsoft Satya Nadella menunjukkan cara menjadi pemimpin yang autentik. Ia tidak segan-segan mengungkapkan kesulitannya dalam menyeimbangkan fokus antara kantor dan rumah.

Ia pun dapat bercerita tentang bagaimana cara mengurus putranya, Zain, yang menderita cerebral palsy. Simpati publik pun berdatangan kepadanya pada saat Zain meninggal.

“Menjadi diri sendiri” dan tampil apa adanya bisa jadi hal yang berat bagi pemimpin tertentu. Akan tetapi, hal ini akan membuat image pemimpin yang lebih utuh sebagai manusia.

Bagaimana cara pemimpin menanggung beban emosi?

Memang benar, it’s lonely at the top. Akan tetapi, inilah kondisi yang harus dihadapi oleh seorang pemimpin. Ia perlu memiliki support system yang secara tulus dapat mendukungnya dalam membuat keputusan-keputusan yang berat.

Dukungan tersebut bisa datang dari sahabat-sahabat di dalam ataupun di luar pekerjaan, bahkan mentor-mentor yang dipercaya sebagai tempat berdiskusi.

Mendengar anjuran para profesional atau konsultan akan menambah manfaat dalam pembuatan keputusannya. Sebab, pemimpin tidak mungkin memiliki keahlian dalam semua bidang.

Diskusi bersama mentor, konsultan, ataupun profesional lain, dapat membantu pemimpin untuk memahami dampak dari keputusan yang dibuat, termasuk dampak emosional.
Dengan demikian, ia dapat melakukan analisis risiko yang lebih tepat dan merancang tindakan antisipatif.

Pemimpin juga harus ingat bahwa lembaga tidak memiliki wajah. Jadi, kemarahan pemangku kepentingan terhadap ketimpangan ataupun kegagalan lembaga biasanya akan ditumpahkan kepada pemimpinnya. Ini adalah hal yang manusiawi dan pemimpin perlu memahami bahwa ia harus legawa dengan posisinya dan tidak baper.

Dalam situasi sulit, kebiasaan pemimpin berdisiplin melakukan latihan olahraga ataupun meditasi dapat membantunya untuk menyalurkan tekanan emosinya dan bangkit kembali.

Kita lihat, selain perlu mengelola emosinya sendiri, pemimpin juga perlu terampil dalam menangani emosi anak buahnya. Sebab, hal ini dapat berdampak pada emosi organisasi secara keseluruhan.

Dengan meningkatkan emotional intelligence dan pendekatan yang mindful menuju pribadi yang autentik, Anda pasti bisa lebih sukses menjadi pemimpin yang lebih utuh.

https://money.kompas.com/read/2023/08/26/075800726/beban-emosi-pemimpin

Bagikan artikel ini melalui
Oke