Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Alergi Deindustrialisasi

Oleh: Andry Satrio Nugroho*

Layaknya alergi, kata deindustrialisasi membuat Pemerintah bereaksi menyangkal seolah tidak terima bahwa Indonesia mengalami gejala ini.

Pemerintah berbondong-bondong berupaya membuktikan bahwa Indonesia tidak mengalami gejala deindustrialisasi.

Upaya itu mulai dari argumen masih tingginya kebergantungan industri pada ekonomi, belum menurunnya tenaga kerja sektor manufaktur, hingga masih meningkatnya investasi di subsektor industri tertentu.

Padahal, deindustrialisasi tidak selamanya buruk.

Istilah ini pertama kali muncul pada 1960. Saat itu, deindustrialisasi dialami oleh negara maju, ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor manufaktur dalam perekonomian suatu negara.

Hal itu terjadi sebagai konsekuensi bagi negara maju yang mengalami pergeseran struktur ekonomi, dari sektor industri manufaktur menuju sektor jasa.

Sektor industri negara maju tidak lagi kompetitif seiring dengan meningkatnya upah tenaga kerja—karena keterampilan yang juga meningkat hingga hanya menguasai subsektor industri tertentu, yang biasanya merupakan industri padat teknologi.

Namun, deindustrialisasi pada hari ini juga dialami oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Istilahnya, deindustrialisasi dini atau prematur.

Deindustrialisasi dini atau prematur merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi negara berkembang yang sudah mengalami penurunan kontribusi industri manufaktur.

Disebut dini atau prematur karena negara berkembang belum mendapatkan manfaat optimum dari sektor manufaktur tetapi struktur ekonomi sudah mulai bergeser ke sektor jasa.

Salah satu imbas nyata dari deindustrialisasi prematur adalah pengangguran di sektor manufaktur. Tenaga kerja belum siap. Keterampilan yang dimiliki masih belum memenuhi permintaan sektor jasa.

Saat ini kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap perekonomian sebesar 18,3 persen. Capaian ini turun dibandingkan 10 tahun lalu yang tercatat sebesar 21,4 persen.

Sekilas, kontribusi ini memang masih terlihat besar. Namun, rata-rata penurunan kontribusi industri manufaktur selama 10 tahun terakhir sebesar 1,5 persen per tahun.

Penurunan ini lebih cepat dibandingkan negara sebaya seperti Thailand yang hanya turun rata-rata 0,6 persen per tahun. Di satu sisi, Malaysia malah naik rata-rata 0,1 persen per tahun.

Bicara kontribusi industri manufaktur, contoh menarik adalah India. Tidak ada yang mengatakan bahwa india bukan negara industri karena beragam produk dan merek ternama berasal dari negara ini.

Namun, kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian India lebih rendah dari Indonesia (13,3 persen). Perbedaannya adalah di karakteristik industri manufaktur India yang lebih padat teknologi dari Indonesia.

Sebanyak 44,6 persen industri di India merupakan industri teknologi menengah-tinggi, sementara Indonesia hanya 35 persen—lagi-lagi lebih rendah dari negara sebaya di Asia Tenggara.

Fokus industrialisasi dan reindustrialisasi

Pemerintah sewajarnya tidak perlu berlebihan mendengar kritik deindustrialisasi. Memang, kata deindustrialisasi menjadi istilah populis di ranah kebijakan.

Tidak hanya di Indonesia, istilah deindustrialisasi populer kembali sejak krisis finansial pada 2008 yang berlanjut dengan perang dagang pada 2018 sebagai kritik atas globalisasi yang minim penciptaan lapangan pekerjaan di negara maju.

Lalu, pasca-Covid-19, basis produksi yang tersentralistik di China mulai ditarik kembali ke negara maju (reshoring) atau setidaknya berdekatan (nearshoring). Terlebih lagi, dengan adanya konflik Rusia dan Ukraina, kebijakan proteksionisme industri oleh negara maju semakin intens.

Pemerintah perlu menjawab kritik deindustrialisasi dengan upaya industrialisasi dan reindustrialisasi.

Industrialisasi seringkali diterjemahkan melalui program hilirisasi. Tentunya hal tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya tepat juga.

Seperti industrialisasi, program hilirisasi mengubah komoditas alam yang kita miliki menjadi produk hilir melalui proses produksi di sektor industri.

Meski tidak sampai produk akhir, sebagai contoh, kebergantungan sektor pertambangan bijih logam kini perlahan berubah menjadi subsektor industri logam dasar.

Namun, berbeda dengan negara lain, program hilirisasi Indonesia bertumpu pada penghentian ekspor bahan baku sehingga harga bahan baku untuk pengolahan domestik lebih murah dibandingkan dengan harga internasional.

Harga bahan baku yang nyaris setengah dari harga internasional menjadi insentif yang signifikan bagi investor untuk mau berinvestasi di sektor industri manufaktur. Inilah biaya yang harus ditanggung oleh pelaku sektor pertambangan dan tentunya juga negara.

Persoalan kemudian hadir ketika berbicara mengenai biaya yang dikorbankan untuk program hilirisasi ini tidak diakomodir oleh proses industrialisasi di hilir.

Industrialisasi yang harusnya memberikan manfaat mulai dari peningkatan penyerapan tenaga kerja hingga kesejahteraan masyarakat minim didapatkan dari program ini. Justru, yang saat ini terjadi di Sulawesi dan Maluku bertolak belakang dengan manfaat industrialisasi dan bahkan turut serta menciptakan kemiskinan multidimensi.

Dominasi tenaga kerja asing dan minimnya partisipasi perusahaan domestik sebagai mitra lokal investasi turut berkontribusi terhadap rendahnya transfer teknologi dan pengetahuan. Belum lagi hilangnya jenis pekerjaan tradisional seperti petani dan nelayan yang kini terjadi di daerah hilirisasi.

Hal ini tentu bukan berasal dari terciptanya kesempatan kerja baru, melainkan akibat proses tata kelola lingkungan yang buruk dan tidak diterapkannya prinsip industrialisasi berkelanjutan. Hilirisasi menciptakan kerusakan lingkungan yang dapat menghilangkan mata pencaharian.

Daerah yang dianggap akan kecipratan efek berganda (multiplier effect) justru mengalami pemburukan kesejahteraan melalui terciptanya pengangguran, kualitas SDM tetap rendah, persoalan stunting tidak terselesaikan, dan masih tingginya angka kemiskinan.

Inilah pekerjaan rumah industrialisasi yang ada pada program hilirisasi saat ini.

Selain industrialisasi, tentunya kebijakan reindustrialisasi perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah. Reindustrialisasi merupakan kebijakan untuk mendorong kembali kinerja subsektor industri yang sekarat.

Sebagai contoh, salah satu subsektor industri andalan Indonesia seperti subsektor tekstil dan produk tekstil kini kontribusinya terhadap sektor industri manufaktur terus menurun. Kondisi di lapangan bahkan lebih parah dari data statistik. Banyak pabrik tutup dan gelombang PHK di subsektor ini terus terjadi.

Gempuran produk akhir impor, melemahnya permintaan produk ekspor, meningkatnya harga listrik, dan rendahnya produktivitas tenaga kerja, merupakan kombinasi lengkap yang mendorong subsektor ini semakin tidak berdaya saing.

Terlebih lagi kita mengetahui, Pemerintah masih belum menghadirkan paket kebijakan industri yang kongkret untuk mengatasi permasalahan yang ada. Kebijakan reindustrialisasi perlu hadir sebelum subsektor ini menghadapi hari akhir.

Kebijakan reindustrialisasi perlu komprehensif, meliputi kebijakan protektif produk impor, insentif peningkatan produktivitas melalui kredit biaya rendah mesin dan teknologi, diskon harga listrik, serta dukungan riset dan inovasi yang digunakan dalam produk akhir tekstil.

Tidak perlu menargetkan diri akan bersaing dengan lima besar pemain tekstil global (China, Bangladesh, Vietnam, Pakistan, dan India). Cukup menjadi tuan rumah di negara sendiri.

Publik kini menunggu upaya apa yang akan ditawarkan Pemerintah dalam menghadirkan kebijakan industrialisasi dan reindustrialisasi. Tentunya hal ini lebih penting dibandingkan berkelit dan berdebat bahwa deindustrialisasi tidak terjadi di Indonesia.

*Penulis adalah Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef

https://money.kompas.com/read/2023/08/31/091957726/alergi-deindustrialisasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke