Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menanti Revisi Permendag soal Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Permendag Nomor 50 tahun 2020 tersebut bertujuan baik, yaitu melindungi UMKM dalam negeri dari persaingan ketat dalam E-Commerce atau Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang cenderung bisa mematikan UMKM domestik.

Transaksi PMSE memang berkembang sangat pesat di Indonesia. Perkembangan pesat itu juga didorong berkah tersembunyi (blessing in disguise) dari pandemi Covid-19 yang membuat pergerakan secara fisik orang terbatas termasuk dalam transaksi perdagangan.

Akibatnya orang menggunakan transaksi secara digital. Kini setelah pandemi covid-19 sudah berlalu, budaya berbelanja melalui sistem digital tidak juga surut karena sudah merupakan kebiasaan baru masyarakat.

Nilai transaksi e-commerce di Indonesia tumbuh 18,77 persen secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi Rp 476,3 triliun pada akhir 2022.

Sedangkan pada 2023, nilai transaksi e-commerce nasional diproyeksikan mencapai Rp 572 triliun atau naik sekitar 20 persen dibanding 2022.

Namun banyak pihak menyatakan bahwa Permendag Nomer 50 tahun 2020 masih terlalu kualitatif dan umum. Perlu direvisi ke dalam peraturan lebih detail, kuantitatif, dan lebih tegas. Maka ada beberapa usulan untuk merevisi Permendag tersebut.

Namun tentu isi Permendag Nomor 50 tahun 2020 yang sudah direvisi seperti apa, kita menunggu secara resmi.

Ada beberapa hal yang diusulkan dalam revisi Permendag No 50 tahun 2020 seperti yang dapat dibaca, didengar, dan dilihat dari komentar berbagai pihak di media massa.

Pertama, diusulkan penyelenggara E-Commerce dan Social- Commerce untuk menjual barang impor yang harganya di bawah 100 dollar AS atau Rp 1,5 juta. Itu untuk barang impor yang sudah bisa diproduksi dalam negeri.

Kedua, untuk barang yang belum bisa diproduksi di dalam negeri, meski harganya di bawah 100 dollar AS, diusulkan tetap dilarang dijual dengan harapan mendorong UMKM dan produsen dalam negeri untuk memproduksinya.

Ketiga, barang impor tersebut diusulkan melalui mekanisme impor biasa dan bukan melalui mekanisme pertukaran langsung antarpenjual dan pengguna lintas negara (cross border).

Keempat, desakan agar data pribadi, khususnya data konsumen yang terlibat dalam e-commerce dilindungi. Jika tidak ada perlindungan, maka hal tersebut bisa disalahgunakan dan akan merugikan konsumen yang menggunakan cara digital dalam bertransaksi perdagangan.

Namun ada juga pihak yang memberi peringatan bahwa revisi Permendag No 50 tahun 2020 dengan membatasi penjualan barang impor lewat PMSE malah justru merugikan konsumen.

Kerugian yang dimaksud adalah konsumen menjadi terbatas pilihannya dalam membeli barang dan membayar harga lebih mahal karena keterbatasan jumlah dan jenis barang yang ada di pasar dalam negeri.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah agar revisi Permendag No 50 tahun 2020 tersebut jangan sampai melanggar aturan dan hukum perdagangan bebas internasional.

Sebab segala hal tentang pembatasan dalam perdagangan internasional merupakan isu sensitif.

Pengalaman Indonesia kalah dalam sidang panel WTO gara-gara proyek Mobil Nasional (Mobnas) di mana ada pembebasan bea-impor untuk mobil dari Korea Selatan, yang kemudian digunakan atau diakui sebagai mobil produksi dalam negeri, hendaknya menjadi pelajaran sejarah untuk tidak diulangi lagi.

Akhirnya kita tunggu saja hasil revisi Permendag Nomer 50 tahun 2020. Semoga bisa memenuhi harapan semua pihak.

https://money.kompas.com/read/2023/09/11/150913826/menanti-revisi-permendag-soal-perdagangan-melalui-sistem-elektronik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke