Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kilas Balik Kereta Cepat: Mendadak China dan Tudingan Rizal Ramli soal Bekingan Pejabat

KOMPAS.com - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bakal resmi beroperasi secara komersial pada 1 Oktober 2023. Tarif yang akan berlaku berkisar antara Rp 250.000-350.000.

Proyek KCJB sejatinya sudah menuai polemik sejak awal pembangunan, bahkan sudah jadi kontroversi saat masih perencanaan. Untuk diketahui saja, biaya investasi proyek KCJB saat ini terlanjur membengkak sangat tinggi.

Setelah dilakukan audit menyeluruh, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,44 triliun (kurs Rp 15.000).

Angka tersebut merupakan hasil audit dari kedua negara yang kemudian disepakati bersama. Dengan demikian, biaya total proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 110,69 triliun.

Rizal Ramli tuding ada beking

Menilik ke belakang, tepatnya di tahun 2014-2015, proyek ini sejatinya sudah jadi perdebatan. Banyak yang tidak setuju pemerintah membangun KCJB karena investasinya yang kelewat mahal dengan pengembalian modal sangat lama. Santer beredar, tak semua menteri kala itu juga setuju dengan proyek ini.

Polemik semakin memanas saat China dan Jepang saling berebut untuk menggarap proyek KCJB. Jepang kemudian menawarkan investasi kereta cepat sebesar 6,2 miliar dollar AS. Tawaran proyek ini dibiayai pinjaman masa waktu 40 tahun dan bunga hanya 0,1 persen per tahun dari JICA.

Namun di tengah jalan China menyalip Jepang dengan menawarkan proposal KCJB dengan investasi yang jauh lebih murah, yakni 5,5 miliar dollar AS meski bunganya lebih tinggi yakni 2 persen (sebelum membengkak di kemudian hari).

Puncaknya, meski menawarkan bunga jauh lebih tinggi, Beijing sukses mendepak Tokyo karena memberikan garansi skema pembangunan KCJB tanpa uang APBN sepeser pun dan tidak akan meminta jaminan pemerintah.

Saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman pada periode 2015-206, Rizal Ramli sempat menyatakan kalau proyek KCJB dibekingi pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan besar.

"Saya enggak peduli beking siapa di belakang. Saya sudah bilang sama Pak Presiden, memang di dalam proyek ini ada beking dan ada pejabat yang ingin bisnis," ujar Rizal dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada 13 Agustus 2015.

Saat penawaran dibuka pada 2015, kata dia, ada dua negara yang memberikan tawaran pinjaman dana untuk pembangunan infrastruktur Kereta Cepat Jakarta Bandung itu, yakni Jepang dan China.

Menurut mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu, kedua negara memberikan tawaran yang berbeda.

Meski menyebut ada beking pada megaproyek itu, Rizal mengatakan bahwa dirinya tak akan terpengaruh karena adanya kepentingan bisnis oknum pejabat yang ikut bermain dalam proyek kereta cepat itu. Dia menegaskan bahwa pemerintah akan memilih investor yang terbaik.

"Teman-teman ketahui banyak sekali yang mau berikan pinjaman infrastruktur. Jepang tawarkan kereta api cepat Bandung-Jakarta hanya 36 menit sekitar 200 kilometer. Tiongkok juga tawarkan yang sama dan tidak pakai duit APBN. Kita adu Jepang, Tiongkok, dan Jerman. Kita cari mana yang paling baik dan murah," kata dia.

Tudingan soal beking ini kembali dilontarkan Rizal Ramli usai dirinya bertemu dengan utusan khusus PM Jepang di kantornya.

"Dan mohon maaf saya enggak peduli siapa bekingnya karena kita ingin yang terbaik untuk Indonesia bukan menguntungkan para beking ini," ujar Rizal pada 26 Agustus 2015.

Hingga saat ini Rizal Ramli tak pernah secara eksplisit menyebut siapa pejabat yang jadi beking di proyek tersebut. 

Rizal Ramli belakangan terkena reshuffle kabinet bersama dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, dan Mendikbud Anies Baswedan.

Peran Rini Soemarno

Indonesia membuka tawaran bagi siapa saja yang berminat, baik Jepang maupun China. Pemerintah Indonesia menetapkan syarat utama, pertama KCJB tidak boleh menggunakan uang APBN dan pemerintah tidak akan memberikan jaminan apa pun bila proyek bermasalah di kemudian hari.

Belakangan pemerintah Indonesia akhirnya mantap memilih China sebagai patner untuk membangun proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, sekaligus menjadi proyek kereta peluru pertama di Asia Tenggara.

Menteri BUMN 2014-2019, Rini Soemarno mengungkapkan alasan pemerintah Indonesia tak memilih Jepang untuk menggarap proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah karena Negeri Sakura masih meminta klausul jaminan dari pemerintah.

"Pemerintah Jepang (proposalnya ditolak), karena tidak bisa mendapatkan jaminan pemerintah, tidak ada anggaran dari pemerintah, jadi otomatis proposal Jepang enggak diterima karena proposal Jepang mengharuskan adanya jaminan dari pemerintah," ujar Rini di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip dari pemberitaan Kompas.com 6 Oktober 2015.

Wanita yang lahir di Maryland, Amerika Serikat, itu menjelaskan, dari dua proposal kereta cepat yang disodorkan Jepang dan China kepada pemerintah, hanya proposal China dinilai memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah.

"Konsorsium BUMN sudah bernegosiasi dengan pihak Tiongkok karena proposal yang memenuhi kriteria tidak ada jaminan dan anggaran pemerintah," kata Rini.

Saat Jepang masih belum menyerah merayu Pemerintah Indonesia dan mencoba merevisi proposal yang akan diajukan ke Indonesia, Rini Soemarno bahkan selangkah lebih maju dengan menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016.

Keberatan Jonan

Saat Menteri Perhubungan 2014-2016 dijabat Ignasius Jonan, masalah konsesi ini pernah jadi polemik panas. Bahkan kala itu, Jonan bahkan sempat menolak menerbitkan izin trase pembangunan kereta cepat karena masalah masa konsesi.

Diberitakan Harian Kompas, 1 Februari 2016, izin trase dari Kementerian Perhubungan sempat terkatung-katung lantaran Jonan belum menerbitkan izinnya. Menurutnya, alasan belum keluarnya izin, karena dirinya tegas mengikuti koridor regulasi.

Dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015 dan UU Nomor 23 Tahun 2007 disebutkan, konsesi perkeretaapian diberikan maksimal hanya 50 tahun dan mulai berlaku saat perjanjian ditandatangani.

Sementara pihak KCIC ngotot menginginkan agar konsesi 50 tahun dimulai saat kereta cepat mulai beroperasi dan bisa diperpanjang (kini konsesi KCJB ditetapkan menjadi 80 tahun).

Jika sebagai Menhub ia setuju memberikan konsesi KCJB di atas 50 tahun, kata Jonan, itu sama saja ia melanggar aturan yang dibuat pemerintah sendiri dan merusak kredibilitas negara.

"Prinsipnya memang harus ada konsesi. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kereta yang dibangun bukan oleh pemerintah harus melakukan perjanjian konsesi," ujar Jonan kala itu.

Menurut dia, pemerintah memberikan hak pengoperasian dan pembangunan kereta. Menteri Perhubungan mewakili negara. Konsesi diberikan maksimum 50 tahun sejak ditandatangani kontrak konsesi, bukan sejak pertama kali operasi sesuai tuntutan KCIC.

"Kami tidak mau mengulang kejadian di jalan tol, yakni pemegang konsesi tidak segera membangun jalan tol dan konsesi berlaku sejak pertama kali beroperasi. Akhirnya pemerintah tersandera. Kalau minta 50 tahun dan bisa diperpanjang, tidak saya berikan," kata Jonan.

"Alasannya, konsesi ini gratis. Mereka tidak bayar sepeser pun. Konsesi di kereta berbeda dengan konsesi di laut dan udara. Kalau di laut, pemegang konsesi harus bayar 2,5 persen, sedangkan di kereta tidak ada fee konsesi," katanya lagi.

https://money.kompas.com/read/2023/09/27/152037626/kilas-balik-kereta-cepat-mendadak-china-dan-tudingan-rizal-ramli-soal-bekingan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke