Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rasionalkah Program Unggulan Para Bakal Calon Presiden?

Oleh: Tauhid Ahmad*

BERAGAM gagasan telah muncul dalam dua bulan terakhir, diucapkan oleh para bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden untuk Pemilu Presiden 2024.

Itu antara lain mulai dari bahan bakar minyak (BBM) gratis untuk masyarakat miskin, makan siang dan susu gratis untuk pelajar dari SD hingga SMA—bahkan untuk ibu hamil dan balita—, pemberian gaji guru minimal Rp 20 juta per bulan, sampai kucuran dana desa hingga Rp 5 miliar per desa, dan lain sebagainya.

Program-program tersebut cukup menarik perhatian bagi pemilih kelompok masyarakat tertentu. Bagaimanapun, guru, ibu rumah tangga, masyarakat miskin, warga desa, dan anak muda adalah sumber-sumber pemilih yang menjanjikan untuk pemenangan pemilu mendatang.

Namun, sebelum lebih jauh membahas rasionalitas program-program para bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden untuk Pemilu Presiden 2024, contoh kasus di Amerika Serikat dapat ditengok terlebih dahulu.

Dalam kampanye pada 2007, kandidat presiden Amerika Serikat Barrack Obama juga mengusung reformasi di bidang kesehatan yang ditujukan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Saat terpilih, dia mengubah beragam substansi UU Kesehatan di Amerika Serikat.

Lalu, pada 2020, kampanye Joe Bidden fokus ke isu pendidikan melalui akses gratis ke pra-sekolah bagi semua anak berusia 3 dan 4 tahun, meningkatkan gaji guru, serta mengurangi kesenjangan pendanaan antara sekolah umum kaya dan berpenghasilan rendah. Kampanye ini berhasil dan kini berlangsung upaya peningkatan akses pendidikan.

Mungkinkah apa yang dilakukan kandidat presiden Indonesia mendatang memiliki tingkat rasionalisasi dalam mewujudkan janji kampanye seperti yang terjadi di Amerika Serikat?

Yang sontak terpikir, bagaimana caranya?

Bila itu berkaitan dengan legislasi, substansi janji kampanye punya kemungkinan bisa diwujudkan. Itu pun karena mengingat presiden terpilih cenderung didukung oleh jumlah kursi yang memadai di parlemen.

Namun, bicara ketersediaan anggaran, janji-janji kampanye itu belum tentu bisa mewujud.

Indonesia tidak seperti di Amerika Serikat yang utangnya pada 2023 telah mencapai 129 persen pendapatan domestik bruto (PDB) dan bahkan mungkin akan terjadi government shutdown karena tidak mampu lagi membayar utang.

Perhitungan program unggulan

Program unggulan para kandidat pasti telah dipikirkan masing-masing tim kampanye. Namun, rasanya menjadi khawatir karena program-program itu jauh dari perhitungan nyata yang saat ini telah dilakukan pemerintah.

Misalnya, dana desa yang bertujuan untuk membangun desa.

Menurut UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, alokasi dana desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten atau kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.

Selama periode 2015 hinga alokasi 2024, pertumbuhan dana desa mengalami penurunan, yaitu dari pertumbuhan sebesar 28,05 persen pada 2016 menjadi 1,5 persen pada 2024.

Implikasinya, janji peningkatan dana desa hingga Rp 5 miliar per desa rentan tidak tercapai. Hingga 2024, alokasi dana desa per desa hanya Rp 974 juta per desa untuk 74.954 desa di seluruh Indonesia.

Persoalannya, apakah UU Desa perlu diubah terlebih dahulu atau belanja APBN bisa dinaikkan lima kali lipat dalam kurun waktu lima tahun mendatang demi memenuhi janji kampanye?

Karena, janji peningkatan dana desa itu butuh anggaran lebih dari Rp 374 triliun dari biasanya sebesar Rp 71 triliun (Nota Keuangan APBN 2024).

Berikutnya, ide kenaikan gaji guru minimal Rp 20 juta per bulan. Secara gagasan, ini menarik. Gagasan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga menjadi insentif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Perhitungannya sederhana. Guru di Indonesia berdasarkan Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berjumlah 3.361.938 orang. Jumlah ini belum termasuk guru yang berada dalam lingkup Kementerian Agama. Totalnya pasti lebih besar.

Dengan perhitungan gaji minimal Rp 20 juta, setidaknya setiap satu bulan butuh anggaran gaji guru sebesar Rp 67,2 triliun. Setahun, setidaknya butuh Rp 806,8 triliun. Bila ditambah gaji ke-13, dalam setahun butuh anggaran gaji guru setidaknya senilai Rp 874 triliun.

Di saat yang sama, Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 amandemen ke-4 mengamanatkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Untuk memenuhi amanat UUD, anggaran pendidikan pada 2024 ditetapkan sebesar Rp 660,8 triliun bagi peningkatan akses pendidikan, penguatan kualitas dan layanan pendidikan PAUD, percepatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan kompetensi guru dan tenaga pendidikan, serta pendidikan vokasi dan beasiswa.

Umumnya, proporsi belanja pegawai di APBN ada di kisaran 33-34 persen pada pemerintah daerah dan 19,6 persen pada pemerintah pusat (Nota Keuangan APBN, 2024).

Anggaplah belanja pegawai di sektor pendidikan dipatok sekitar 26 persen saja dari alokasi anggaran. Maka, belanja pegawai—dalam hal ini guru dan tenaga pendidikan—adalah Rp 171,8 triliun.

Jadi, apakah mungkin kenaikan belanja pegawai untuk guru dan tenaga pendidik mencapai Rp 874 triliun atau naik lima kali lipat dari ketersediaan alokasi anggaran?

Terlebih lagi, pada realitasnya, untuk merealiasisakan tunjangan sertifikasi guru (Tunjangan Profesi Guru ASN Daerah, Tunjangan Khusus Guru ASN Daerah untuk daerah khusus, dan tambahan penghasilan guru ASN Daerah) yang "hanya" Rp 50,4 miliar pada 2023, Kemendikbud sudah kesulitan.

Karenanya, apakah kebutuhan Rp 874 triliun untuk memenuhi janji kampanye terkait gaji guru mungkin direalisasikan?

Ide menarik lainnya dari para bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden adalah pemberian makan siang dan susu gratis di semua sekolah dan pesantren. Tujuannya, meningkatkan kualitas gizi sehingga kualitas sumber daya manusia meningkat.

Program seperti ini jamak ditemukan di negara lain, yaitu makan siang disediakan sekolah. Problemnya, jumlah peserta didik di Indonesia sangat besar.

Data pokok pendidikan nasional pada Oktober 2023 mencatat setidaknya ada 53.127.098 peserta didik, mulai dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK.

Dengan asumsi biaya makan siang sebesar Rp 15.000 per hari, setidaknya butuh Rp 796 miliar per hari atau anggaran Rp 192 triliun dalam setahun bagi seluruh peserta didik.

Anggaran tersebut dihitung untuk 22 hari efektif per bulan dalam kurun 11 bulan, dengan tidak menghitung periode libur sekolah.

Sebagai catatan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun 2024, uang makan PNS ditetapkan mulai Rp 18.000 hingga Rp 25.000 per orang per hari.

Apakah mungkin anggaran untuk makan siang sebesar Rp 192 triliun dimasukkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan?

Rasanya juga aneh apabila anggaran makan siang siswa lebih besar dari belanja pegawai guru. Ini belum lagi anggaran susu untuk siswa yang jumlahnya juga akan sedemikian besar.

Skenario optimistis: pajak dan utang digenjot

Optimisme program unggulan calon presiden pada akhirnya diletakkan pada dua komponen yang selalu menjadi tumpuan berapa pun kebutuhan belanja di atas.

Pertama, seberapa jauh penerimaan negara, khususnya pajak, dapat digenjot sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka panjang.

Kedua, seberapa jauh defisit anggaran dipertahankan melebar pada level 3 persen PDB atau kalau perlu diperlebar di atas 3 persen PDB.

Cara untuk memperlebar defisit anggaran adalah dengan mengubah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara atau membuat UU ad hoc yang memasukkan klausul mendesak pada UU APBN.

Tapi, apakah itu mungkin?

Bila kita lihat lebih mendalam lagi, perhitungan Kemenkeu (2023) mendapati, pendapatan negara pada jangka menengah diproyeksikan terus meningkat hingga dapat mencapai kisaran 12,42–12,99 persen dari PDB pada 2027.

Di dalamnya terdapat penerimaan perpajakan hingga 2027 yang diperkirakan mencapai 10,31-10,77 persen PDB. Asumsinya, pertumbuhan ekonomi setidaknya berada pada rentang 5,7-6,4 persen pada 2027.

Dari situ, pendapatan negara yang bisa dihitung pada 2027 berada pada rentang Rp 2.769 triliun hingga Rp 2.921 triliun. Kemudian dengan batas deficit fiscal yang diperbolehkan sebesar 2,8 persen PDB maka akan ada ruang penambahan utang yang berada pada rentang Rp 624 triliun hingga Rp 629 triliun pada tahun yang sama.

Artinya, total belanja negara pada 2027 berada pada rentang Rp 3.393 triliun hingga Rp 3.550 triliun. Ruang gerak fiskal bakal calon presiden hingga 2027 berada pada rentang tersebut.

Dengan skenario belanja negara yang naik hanya 8-9 persen, apakah alokasi itu dapat membiayai beragam program-program presiden yang naiknya lima kali lipat dibanding sekarang?

Upaya lain yang mungkin dilakukan adalah mengerek penerimaan pajak hingga 12-13 persen melalui tax amnesty, teknologi perpajakan, dan perluasan basis pajak. Namun, bagaimana perhitungannya?

Dengan cara yang sama, kenaikan belanja negara pada 2024 hingga 2027 hanya meningkat 20-24 persen, setara sekitar Rp 3.700 triliun hingga Rp 4.052 triliun.

Lagi-lagi ini menjadi pertanyaan mendasar, apakah mungkin dijalankan pendanaan program yang naiknya bisa lima kali lipat sementara anggaran anggaran pendidikan dengan budget sesuai peraturan perundangan setidaknya 20 persen APBN pun hanya berkisar Rp 754 triliun hingga Rp 810 triliun pada 2027?

Jelas tidak mungkin membiayai tambahan kenaikan gaji guru yang menghabiskan seluruh anggaran pendidikan tersebut.

Mungkin upaya lain yang dilakukan adalah menambah utang, memakai skenario revisi UU. Misal, batas atas dinaikkan menjadi 4 persen dan penerimaan pajak digenjot hingga 12-13 persen maka akan terjadi kenaikan belanja negara antara 28-32 persen.

Dengan perhitungan yang sama, diperoleh belanja negara di kisaran Rp 4.038 triliun hingga Rp 4.322 triliun. Untuk alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen maka anggaran pendidikan menjadi kisaran Rp 807 triliun hingga Rp 864 triliun.

Artinya kenaikan gaji guru yang sebesar Rp 874 triliun dan program makan siang sebesar Rp 192 triliun sangat tidak mungkin juga dilakukan, baik menggunakan skenario peningkatan pajak maupun penambahan utang secara bersamaan.

Tidak elok pula rasanya gaji guru dan makan siang gratis dibiayai dengan penambahan utang.

Sama halnya juga bagi dana desa yang alokasi pada APBN 2024 sebesar Rp 71 triliun dengan pertumbuhan 5 persen per tahun.

Menggunakan asumsi optimistis sekalipun, anggaran dana desa hanya akan mencapai Rp 82,1 triliun atau per desa akan ada kenaikan dana desa dari Rp 974 juta menjadi Rp 1,096 miliar saja.

Kalaupun utang diperlebar dan pajak digenjot seperti penjelasan di atas maka akan diperoleh dana desa maksimal sebesar Rp 1,25 miliar per desa.

Dengan demikian, sangat tidak mungkin anggaran dana desa bisa mencapai Rp 5 miliar per desa, baik dengan skenario kenaikan pajak maupun penambahan utang.

Rasionalisasi program unggulan

Janji bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden adalah hal yang ditunggu-tunggu masyarakat. Seperti halnya janji Presiden Amerika Serikat, baik Barrack Ombama maupun Joe Bidden, yang mengandalkan penambahan utang.

Masalahnya, tidak mudah mengubah UU Keuangan Negara agar utang bisa diperlebar di atas 3 persen tahun PDB. Bersamaan, pemerintah saat ini juga tidak yakin atau belum menemukan cara menaikkan rasio pajak hingga 12 persen ataupun 13 persen PDB.

Berangkat dari hal tersebut, para kandidat kontestasi kepemimpinan nasional sebaiknya menyusun janji manis yang bisa dirasionalkan, baik dari sisi regulasi maupun penganggaran. Tanpa salah satunya maka janji-janji kampanye akan sulit direalisasikan.

Salah satu upaya merasionalisasi program kampanye adalah mengurangi sasaran yang memiliki angka sasaran paling besar.

Makan siang gratis, misalnya, mungkin sangat tidak realistis untuk seluruh siswa dari PAUD sampai SMA karena jumlah sasarannya 53.127.098 peserta didik. Realistisnya, sasaran ditetapkan bagi yang paling membutuhkan dan yang memberikan efek peningkatan gizi paling baik.

Dalam data Kemendikbud, PAUD memiliki 6,8 juta siswa, di PKBM & SKB terdapat 1,7 juta siswa, di SD ada 24 juta siswa, SMP mencatatkan 9,9 juta siswa, SMA dan SMK punya 10,3 juta siswa, serta SLB mempunyai 158.000 siswa.

Kalau belum cukup, bisa jadi pemberian makan gratis hanya dilakukan satu kali dalam seminggu. Itu pun, perlu dilihat apakah ini cukup signifikan meningkatkan kualitas gizi atau tidak?

Lagi-lagi, janji tersebut harus direvisi dan diperhitungkan ulang konsekuensi pembiayaannya.

Adapun kenaikan gaji guru sebesar Rp 20 juta jelas terlalu tinggi sehingga rasionalisasinya perlu ada pengurangan.

Saat ini, guru golongan I/A mendapatkan gaji Rp 1.560.800 hingga Rp 2.335.800 per bulan, sementara  gaji tertinggi adalah untuk guru golongan IV/E yaitu sebesar Rp 3.593.100 sampai Rp 5.901.200 per bulan.

Apabila guru mendapatkan sertifikasi maka besaran gaji mereka adalah satu kali gaji pokok sesuai golongan. Dengan alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen maka anggaran pendidikan pada 2027 hanya akan berada di kisaran Rp 807 triliun hingga Rp 864 triliun.

Menggunakan scenario baseline, kenaikan gaji guru hanya akan sekitar 2,5 persen per tahun atau sama dengan kenaikan gaji PNS selama ini. Kalaupun dilakukan optimalisasi dengan kenaikan penerimaan pajak dan penambahan utang maka kenaikan gaji guru paling tinggi 10 persen per tahun.

Meski demikian, rasanya kenaikan gaji PNS belum pernah terjadi sampai 10 persen per tahun, di sepanjang sejarah.

Lain halnya dengan dana desa yang rentang rasionalisasinya berada paling tinggi, yaitu Rp 1,096 miliar per desa sebagai baseline. Kalaupun ada optimalisasi penerimaan negara dan penambahan utang, paling tinggi pun hanya Rp 1,25 miliar per desa.

Paling mungkin dilakukan soal dana desa adalah pembagian alokasi dana desa tidak merata tetapi berdasarkan standar desa yang baik, khususnya dari sisi infrastruktur dasar, baik jalan, jembatan, maupun sarana penunjang lain.

Memakai model ini, akan ada desa yang kemungkinan bisa mendapatkan dana desa senilai Rp 2 miliar tetapi bersamaan terdapat banyak desa yang mendapatkan alokasi dana desa di bawah Rp 1 miliar per desa.

Jika angka tertinggi dana desa mencapai Rp 5 miliar per desa, rasanya akan ada kesenjangan sangat dalam antar-desa ketika model di atas diterapkan. Karena, bakal ada banyak desa yang alokasi dana desanya di bawah Rp 0,5 miliar per desa.

Gambaran di atas mudah-mudahan menjadi pertimbangan rasional dalam  menyusun janji kampanye. Terlebih lagi, janji manis kampanye biasanya tidak hanya satu tetapi bisa lebih dari 10, yang semuanya pun cenderung mengandalkan sumber pembiayaan APBN.

Berangkat dari hal tersebut perlu dilakukan beberapa langkah penting.

Pertama, soal cara penganggaran program serupa yang selama ini diterapkan, termasuk standar biaya masukan yang digunakan.

Langkah ini perlu didasari kerangka hukum. Meski regulasi bisa diubah, rasanya perubahan tersebut tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat untuk yang berhubungan dengan penganggaran, termasuk yang mandatory spending.

Kedua, lihat lagi kerangka anggaran jangka menengah dan panjang yang telah disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mulai dari asumsi makro yang digunakan dalam perhitungan pendapatan dan belanja, termasuk soal peluang penambahan pendapatan negara karena extra effort dari sisi perpajakan.

Ketiga, perlu rasionalisasi dari sasaran yang dapat dibiayai dari program-program unggulan. Janganlah membuat janji yang berlaku untuk semua sasaran. 

Terakhir, harus ada kebaruan dari janji yang disusun tetapi sekaligus lebih memiliki dampak besar.

Isu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tetaplah isu menarik. Namun, isu pemerataan, perbaikan lingkungan, transisi energi, dan model baru pengentasan kemiskinan mungkin dapat juga ditemukan beberapa peluangnya.

Yang terpenting, apa pun janjinya, buatlah janji yang rasional. Semoga.

Referensi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
_____________ Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
_____________ Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kementerian Keuangan. 2023. Rancangan Undang-Undang dan Nota Keuangan tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2024

*Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef)

https://money.kompas.com/read/2023/10/07/152544926/rasionalkah-program-unggulan-para-bakal-calon-presiden

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke