Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

AIS Forum, RI Kembangkan Drone Canggih Pemantau Kondisi Air Laut

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia perlu lebih memahami setiap detail karakteristik serta potensi yang dimiliki dari perairan Nusantara. Namun, hal ini perlu didukung dengan tersedianya data terkait karakteristik oseanografi.

Pengukuran atau pengambilan data menjadi hal penting karena perairan Indonesia memiliki arus samudra (Indonesian throughflow). Arus seperti ini menjadi salah satu sistem yang dapat mengubah karakteristik perairan global.

Terlebih, luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 kilometer persegi, dengan bentang garis pantai yang mencapai 81.290 kilometer atau terpanjang kedua di dunia setelah negara Kanada.

Untuk melakukan pengukuran atau pengambilan data tersebut, maka dibutuhkan instrumen yang mampu mengakomodasi seluruh wilayah perairan secara berkala (real time). Instrumen ini juga harus mampu mengukur secara presisi pada laut dangkal maupun laut dalam.

Sayangnya, belum ada instrumen yang mampu melakukan pengukuran secara berkala, sekaligus bisa digunakan di seluruh jenis perairan Indonesia.

Hal itulah yang mendorong Noir Primadona Purba untuk menciptakan suatu alat pemantauan dan pengukuran karakteristik perairan berbasis teknologi digital sekaligus menjawab tantangan tadi.

Dosen di Departemen Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Bandung tersebut, berhasil menciptakan Arhea, akronim dari Advanced Drifter GPS Oceanography Coverage Area.

Arhea berupa tabung aluminium berwarna kuning sepanjang 1 meter berdiameter 144 milimeter dengan bobot sekitar 15 kilogram. Tabung dipasangi berbagai sensor, baterai, penyimpan data, global positioning system (GPS), serta sistem komunikasi lewat radio dan satelit.

Pada perairan terbuka atau tertutup, tabung itu akan mengapung karena dipasangi pelampung. Artinya, alat ini mengikuti parsel air kemana pun arus mengalir. Sekilas, cara kerjanya mirip pesawat nirawak atau drone, tapi bergerak di bawah air.

Alat ini juga dapat diaplikasikan untuk perairan tertutup seperti waduk, danau. Juga bisa dipakai untuk meneliti perairan sangat dangkal.

Selain itu, Arhea dapat pula menyelam hingga kedalaman maksimal 200 meter di bawah permukaan laut. Alat ini secara umum ditujukan untuk mengukur arus secara lagrangian.

Sebelum mencapai batas jarak terdalam, sensor akan memberi sinyal agar alat segera naik dengan dorongan mesin rotor yang dipasang di bagian dasar tabung. Arhea digerakkan oleh baterai isi ulang yang dapat diisi ulang tiap tiga bulan.

"Sampai di permukaan air, alat ini akan langsung mengirimkan data. Nantinya, setelah seluruh data terkirim dalam waktu 15-25 menit, maka Arhea akan kembali menyelam," ujar Noir dalam keterangan tertulis KTT AIS, Senin (9/10/2023).

Pria kelahiran Pematangsiantar, 17 Januari 1982 itu menjelaskan, sensor yang dipasang disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Bisa untuk mengukur parameter atmosfer seperti suhu udara, kelembapan, dan tingkat polusi air.

Sementara parameter di dalam air seperti untuk mengetahui kondisi salinitas atau kadar garam air laut, derajat keasamaan (pH), suhu air, oksigen terlarut (DO), dan kekeruhan.

Bahkan dapat memprediksi kawasan populasi ikan (fishing ground prediction) sekaligus memetakan areanya. Akurasinya mencapai di bawah 5 meter dari objek yang direkam di bawah permukaan air.

Arhea juga bisa difungsikan sebagai alat pengawasan kawasan lindung laut, sehingga dapat dipakai oleh instansi yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan. Selain itu, alat ini dapat dilepaskan ke laut memakai perahu atau pesawat terbang.

Waktu pengukuran oleh sensor juga bisa diatur oleh pengguna, misalnya per 5 menit, 30, atau 60 menit. Data yang disimpan kemudian dikirimkan via satelit, lalu diterima oleh server di Pusat Data Kelautan Terintegrasi Unpad (Indonesia Sea-Padjadjaran Oceanographic Data Center).

Hasil pemantauan oleh sensor langsung ditayangkan secara real time di laman www.isea-pdoc.org.

Pengembangan Arhea dilakukan sejak 2016 oleh Laboratorium Riset kelautan (Maritime Research Laboratory/MEAL) Unpad bersama Institut Ilmu Kelautan (MSI) Universitas Filipina dan PT Robo Marine Indonesia.

Prototipe pertama diberi nama GPS Drifter Combined (Gerned), lalu berganti menjadi Arhea.

Arhea juga sudah menjalani serangkaian uji coba di sejumlah perairan Indonesia, di antaranya Pangandaran, Jawa Barat dan Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Arhea sudah pula diujicoba di perairan Suva, negara Fiji.

Saat dideklarasikannya Forum Negara-negara Pulau dan Kepulauan (Archipelagic and Island States/AIS) di Manado, Sulawesi Utara pada 1 November 2018, Arhea ikut diperkenalkan.

Alat ini langsung merebut simpati delegasi negara-negara peserta. Para pemangku kepentingan yang berhubungan dengan bidang kelautan dan perikanan langsung menyatakan minatnya untuk meminang Arhea.

"Ini membanggakan bagi kami karena alat ini hampir 80 persen bahan bakunya buatan dalam negeri dan Arhea diproduksi di Indonesia. Kecuali transmiter untuk pengiriman data ke satelit yang masih harus diimpor," jelas Noir.

Seiring dengan pemanfaatannya sangat baik terutama bagi negara-negara pulau dan kepulauan, pihak AIS Forum bersama organisasi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) memberikan dukungan penuh, terutama dalam bentuk bantuan hibah pengembangannya.

Dukungan ini agar alat buatan putra-putri Indonesia tersebut dapat disematkan oleh lebih banyak lagi teknologi terbaru bidang kelautan untuk menjaga masa depan laut yang berkelanjutan.

https://money.kompas.com/read/2023/10/09/144000426/ais-forum-ri-kembangkan-drone-canggih-pemantau-kondisi-air-laut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke