Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mendongkrak Pendapatan Petani

SECARA faktual nasib petani makin tragis. Sumber airnya menurun, saluran irigasinya banyak yang rusak, pupuk mahal dan alokasinya makin terbatas, harga pestisida melambung, biaya tenaga kerja makin mahal, sementara saat panen raya harganya jeblok.

Petani tidak berdaya karena harga dikendalikan tengkulak. Bulog yang seharusnya menyerap gabah petani saat harga jatuh, tidak melakukan tugasnya dengan maksimum.

Bulog faktanya lebih banyak mengandalkan pengadaan harga gabah kepada pihak ketiga ketimbang turun langsung membeli gabah petani.

Implikasinya, “oknum Bulog” dan pihak ketiga mitra Bulog makin kaya, petani merana dan menderita karena tidak berdaya menghadapi eksploitasi dirinya.

Kita mencatat, semua negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Amerika Serikat, Brazil, sektor pangannya sangat kuat.

Fakta Sejarah juga menunjukkan, perang Sultan Agung melawan Belanda di Batavia dikalahkan dengan membakar lumbung padi sepanjang pantura.

Pertanyaan mendasarnya, bagaimana cara praktikal untuk meningkatkan pendapatan petani, agar nasib dan masa depan mereka lebih menjanjikan.

Jawaban yang merupakan kunci pemecahan masalahnya adalah penurunan biaya produksi, peningkatan produktivitas dan optimalisasi pascapanen dan pengolahan hasil.

Reduksi biaya produksi

Masalah biaya produksi harus diselesaikan secara fundamental oleh pemerintah melalui kebijakan dan petani melalui optimalisasi penggunaan input dan tenaga kerja.

Salah satu penyebab mahalnya biaya kerja, yaitu: upah tenaga kerja yang terus meningkat sejalan dengan kenaikan upah minimum regional (UMR) baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Penggunaan tenaga kerja manual yang belum berhasil dikurangi, menyebabkan beban biaya produksi dari tenaga kerja sangat besar.

Artinya terjadi inefisiensi dalam alokasi dan penggunaan tenaga kerja, sehingga tanpa terobosan alat mesin, maka harga beras Indonesia sangat mahal, dibandingkan produk kompetitornya.

Kalau harganya sangat mahal, maka suka atau tidak akan masuk beras impor secara besar-besaran dan petani lagi-lagi menjadi korbannya.

Otomatisasi dalam budidaya pertanian, penggunaan artificial intelligence terutama untuk budi daya padi sangat diperlukan agar mampu mereduksi curahan tenaga kerja.

Pemerintah harus mampu menyediakan pupuk dan pestisida dengan harga terjangkau, karena usaha tani bagi petani merupakan satu satunya pekerjaan utama.

Penggunaan pupuk posfat berbahan baku lokal seperti guano, dolomit, kapur, pupuk organik perlu dimasifkan, agar ketergantungan pupuk berbahan baku impor menurun.

Selain menekan biaya produksi padi, pemerintah juga dapat menghemat pengeluaran devisa negara. Pupuk an organik dapat digunakan sebagai stimulan saja, sehingga petani bisa memenuhi sebagian besar kebutuhan pupuk secara mandiri.

Berdasarkan hasil pemantauan lapangan, porsi tenaga kerja mencapai 40-45 persen terhadap biaya produksi.

Sehingga reduksi biaya tenaga kerja untuk produksi dapat dikurangi 20-25 persen, maka keuntungan yang diperoleh petani dapat ditingkatkan.

Pendekatan itu sangat realistis dan operasional. Hasil kajian di Gapoktan Kepodang Topo, Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa melalui konsolidasi pengelolaan lahan, maka biaya tenaga kerja untuk pengolahan tanah, tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan panen lebih murah (hanya Rp 8. 750 000/hektare),

Efisiensinya setara dengan pengelolaan seluas lebih dari 3 hektare yang dikelola secara konvensional.

Artinya konsolidasi pengelolaan lahan akan mampu menekan biaya produksi per hektare dan meningkatkan pendapatan petani secara signifikan.

Meningkatkan produktivitas

Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui peningkatan populasi dan peningkatan jumlah butir padi bernas per malai.

Peningkatan populasi tanaman per hektare dapat dilakukan dengan sistem tabur sebagaimana dilakukan oleh petani di sebagian besar belahan dunia.

Menggunakan Teknik sebar melalui drone, dengan volume benih 90 kiligram, maka populasi tanaman dapat ditingkatkan dari 250 000 rumpun per hektare (dengan jumlah tanaman produktif rerata 10 batang per rumpun) dengan asumsi jarak tanam 20x20 cm menjadi 750 000 rumpun per hektare (dengan populas rumpun 3-5 tanaman).

Hasil penelitian lapangan di daerah rawa Banyuasin, produksi padi mampu menembus 10-11 juta ton gabah kering panen yang ditimbang. Sedangkan dengan cara tanam pindah maksimal hanya 7-8 ton/hektare.

Keunggulan tanam disebar antara lain menghemat biaya persemaian, tanam, penyiangan minimal dua kali.

Sedangkan tantangannya harus memantau serangan hama utamanya penggerek batang baik sundep maupun beluk.

Perbedaan hasil sekitar 3 ton per hektare dan penurunan biaya tenaga kerja merupakan kontribusi signifikan dalam mendongkrak pendapatan petani.

Indonesia harus segera mulai memperluas sistem tanam tabur sebagaimana yang dilakukan oleh sebagain besar petani di seluruh dunia.

Penggunaan drone merupakan pilihan yang menjanjikan dalam mereduisi biaya tenaga kerja baik untuk tanam, pengendalian hama dan penyakit. Selain murah, cepat, juga bisa dikontrol aplikasinya, sebarannya, sehingga memberikan hasil yang maksimal.

Optimalisasi Pascapanen dan pengolahan hasil

Sampai saat ini sistem pascapanen dan pengolahan hasil lebih berpihak kepada penggilingan padi dibandingkan ke petani sebagai produsen gabah sebagai bahan baku penggilingan padi.

Petani hanya menjual dalam bentuk gabah kering panen yang dihitung berdasarkan rendemen beras. Akibatnya hasil yang diterima petani hanya beras saja, sementara komponen lainnya yang bernilai ekonomi dinikmati oleh penggilingan padi.

Berdasarkan penelitian di salah satu penggilingan padi Ngawi, menunjukkan semua komponen gabah hasil penggilingan padi bernilai ekonomi tinggi.

Berikut ini prosentase komponen hasil penggilingan padi: sekam (22 persen), bekatul (10 persen), menir (1 persen), beras patah (last broken) (8 persen), beras patah (small broken) (1 persen), beras berwarna (0,5 persen), beras kepala (52 persen).

Jika 1 hektare sawah menghasilkan gabah 7 ton/hektare, maka secara ekonomi praktis menghasilkan:

  • 1.540 kg sekam dengan harga Rp 100/kg menghasilkan uang Rp 154 000
  • Bekatul 700 kg @ Rp 5.000 menghasilkan uang Rp 3.500 000
  • Menir 70 kg @ Rp 5.600, menghasilkan uang Rp 3.920.000
  • Beras patah besar (last broken) 700 kg @ Rp 11.000 menghasilkan uang Rp 7.700.000
  • Beras patah kecil (last broken) 70 kg @ Rp 7.000 menghasilkan uang Rp 490.000.
  • Beras berwarna 35 kg @ Rp 6.500 menghasilkan uang Rp 227.500.
  • Beras kepala 3.640 kg @Rp 16.000 menghasilkan uang Rp 58.240.000

Di luar beras kepala seharga Rp 58.240.000, petani mampu mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 15.991.000.

Prasyarat mutlak yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menyediakan Rice Milling Unit (RMU) modern dan konsolodasi pengelolaan lahan agar selain efisien dan produktif, juga mampu menjamin pasokan bahan baku untuk RMU.

Pengalaman menunjukkan bahwa tanpa jaminan pasokan bahan baku, maka RMU secanggih apapun akan merana tidak berdaya dan mati berkarat karena tidak mampu beroperasi secara ekonomis akibat digoreng tengkulak pasokan bahan bakunya.

Semoga ketiga capres yang berlaga di kontestasi pilpres tahun 2024 memahami dan bisa mengeksekusi program konkret yang sangat prorakyat untuk membantu mengangkat harkat dan martabat petani yang sudah lama menderita, papa dan tidak berpunya.

*Analisis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

https://money.kompas.com/read/2023/11/01/112811926/mendongkrak-pendapatan-petani

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke