Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Al Dapat Jadi Arbiter Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis?

Arbitrase adalah metode efektif penyelesaian sengketa bisnis. Model ini banyak dipilih karena bisa menyelesaikan perkara lebih cepat, efisien, tetap menjaga reputasi para pihak, biaya berperkara lebih murah, dan diputus secara akurat, akuntabel, dan adil oleh para arbiter yang ekspert di bidangnya.

Arbitrase adalah model penyelesaian sengketa ajudikasi non litigasi. Keberadaannya pada kelompok ajudikasi membuat arbitrase memiliki kompetensi absolut setara pengadilan.

Pengadilan harus menolak perkara yang diajukan kepadanya, jika para pihak sudah terikat pada klausul atau perjanjian arbitrase.

Eksistensi arbitrase diatur dalam UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya putusan arbitrase yang bersifat final and binding memiliki kekuatan sama dengan putusan pengadilan.

Berkembang pesatnya Artificial Intelligence (AI) terutama AI generatif yang berwujud instrumen kecerdasan buatan, juga berdampak pada arbitrase.

Perdebatan seputar apakah AI bisa digunakan dalam dunia arbitrase? Lebih ekstrem lagi pertanyaan, apakah AI bisa menjadi arbiter menggantikan manusia?

Tulisan ini adalah bahan ajar saya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang saya bagikan juga kepada pembaca Kompas.com untuk manfaat lebih luas.

Cara kerja AI

Dikutip dari situs resmi Google Cloud berjudul "Generate text, images, code, and more with Google Cloud" bahwa AI generatif merupakan AI yang digunakan untuk membuat konten baru, seperti teks, gambar, musik, audio, dan video.

AI generatif, didukung model AI besar yang dapat melakukan beberapa tugas sekaligus dan siap pakai. Produknya termasuk perangkuman, tanya jawab, dan klasifikasi. Model dasar ini dapat diadaptasi untuk penggunaan tertarget.

AI generatif bekerja menggunakan model Machine Learning (ML), untuk mempelajari pola dan hubungan dalam set data, yang terdiri dari konten buatan manusia.

Berdasarkan pelatihan, sistem ini kemudian menggunakan pola-pola untuk membuat konten baru.

Google menambahkan, cara yang paling umum digunakan untuk melatih model AI generatif adalah dengan menggunakan pembelajaran yang diawasi (supervised learning).

Model AI generatif diberi satu set konten buatan manusia dan label yang sesuai. AI generatif kemudian belajar membuat konten serupa dengan konten buatan manusia, yang kemudian diberi label yang sama.

AI dan Arbitrase

Sebagaimana dirilis laman resmi Silicon Valley Arbitration and Mediation Center (31/8/2023), SVAMC telah meluncurkan “Draft SVAMC Guidelines on the Use of Artificial Intelligence (AI) in International Arbitration”.

Pedoman ini menawarkan serangkaian praktik terbaik mengenai penggunaan AI dalam arbitrase internasional untuk semua pihak yang terlibat dalam proses arbitrase, dan bertujuan mengatasi penerapan kecerdasan buatan saat ini dan masa depan berdasarkan principled framework.

Draft Guidlines mencakup ketentuan dan prinsip yang meliputi BAB I tentang Pedoman yang berlaku bagi seluruh peserta arbitrase internasional yang mencakup ketentuan tentang memahami kegunaan, keterbatasan dan risiko aplikasi AI dan menjaga kerahasiaan.

BAB II berisi pedoman bagi pihak-pihak dan kuasanya yang meliputi kewajiban kompetensi dalam penggunaan AI serta menghormati integritas proses dan bukti.

BAB III berisi pedoman bagi arbiter yang mencakup tidak adanya pendelegasian tanggung jawab pengambilan keputusan, menghormati proses hukum, pelindungan dan pengungkapan catatan.

Pedoman juga berisi saran dan contoh praktis penggunaan AI yang patuh dan tidak patuh dalam arbitrase. Hal ini dimaksudkan sebagai “tolok ukur” untuk mengukur kesesuaian dalam skenario dunia nyata.

Guidelines juga mengusulkan klausul model untuk dimasukkan dalam perintah prosedural bagi pihak-pihak yang setuju untuk ikut serta.

Pedoman AI adalah bukti lebih lanjut bahwa AI semakin berperan dalam semua jenis arbitrase. Hal ini juga menjadi referensi bagi para pihak, kuasa, dan arbiter dalam pemanfaatan AI dalam praktik beracara.

Manfaat

Banyak manfaat AI dalam proses penyelesaian bisnis melalui Arbitrase. Lucia Bizikova, Philip Hancock, Dan Jewell, Ilan Sherr, dalam artikel berjudul IA Meets AI – Rise of the Machines (2/10/2023) menyebut beberapa manfaat AI yang meliputi:

Pertama, AI dapat berperan dalam penelitian hukum. Saat ini terdapat platform yang didukung AI, yang dapat digunakan untuk menganalisis teks hukum dengan cepat, memberikan panduan, preseden, kasus, dan undang-undang yang relevan.

Selain itu, AI generatif yang tertanam dalam platform digital dapat menemukan dan memeriksa kutipan kasus dan perlakuan hukum yang mereka terima dari pengadilan sebagai komparasi.

Arbiter dan penasihat hukum tentu harus tetap melakukan cek dan memeriksa fakta secara benar dan komparasi dengan data akurat.

Kedua, AI dapat dimanfaatkan dalam pemrosesan dan penyusunan bahasa. AI generatif saat ini lazim digunakan untuk menghasilkan teks seperti esai.

AI juga dapat digunakan untuk mengubah transkrip. AI bermanfaat dalam sidang pemeriksaan saksi dan mengubahnya menjadi naskah pernyataan saksi.

Transkripsi dan terjemahan sidang secara otomatis juga dapat dilakukan dengan bantuan AI melalui pengenalan suara dan konversi ucapan, tentu akan sangat membantu proses arbitrase. Model ini juga berguna dalam proses arbitrase internasional secara daring dari seluruh dunia.

Ketiga, AI juga dapat digunakan untuk proses memilih arbiter. Dalam Arbitrase internasional hal ini tentu sangat bermanfaat. Menganalisis rekam jejak ekspertis yang tersebar di berbagai negara menjadi lebih mudah dan bermanfaat bagi para pihak dalam menentukan arbiternya.

Pro-kontra AI sebagai Arbiter

Berbeda dengan konsep penggunaan AI untuk efisiensi dalam proses arbitrase yang relatif tidak menimbulkan resistensi, maka penunjukan AI dan memerankannya sebagai arbiter justru memicu banyak kontroversi.

Meskipun dalam praktik, model penyelesaian sengketa secara otomatis saat ini sudah dilaksanakan oleh marketplace.

Menurut Lucia Bizikova et all, eBay misalnya, telah mengoperasikan pusat penyelesaian otomatis selama beberapa tahun, konon menyelesaikan hingga 90 persen seluruh klaim tanpa campur tangan manusia.

Selanjutnya DoNotPay.com, platform berkekuatan AI yang awalnya disebut sebagai “Pengacara Robot", saat ini telah digunakan dalam berbagai kasus hak konsumen, termasuk menurunkan tagihan medis, membatalkan langganan, sengketa kredit, dan penutupan rekening bank.

Beberapa platform eksperimental seperti The Virtual Courthouse, Net-ARB, eCourt, dan ThoughtRiver juga mencoba menerapkan AI dalam pengambilan keputusan.

Mereka yang pro menyatakan bahwa AI memiliki kemampuan menganalisis data dalam jumlah besar. Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang didukung AI, cenderung lebih akurat dibandingkan pengambilan keputusan oleh manusia.

Sedangkan pihak yang kontra berpendapat bahwa AI tidak memiliki kecerdasan emosional dan relatif tidak menyadari perbedaannya, sehingga sulit memberikan keputusan yang adil, berdasarkan nilai-nilai moral dan bukan sekadar analisis kuantitatif dan logika mesin.

Saya berpendapat terlalu berisiko jika menjadikan AI sebagai arbiter perkara kompleks. Karena ukuran "benar" menurut AI bisa berbeda saat dipotret berdasarkan nilai kebenaran berbasis ekosistem humaniora, hukum, moral, kesusilaan, dan keadilan.

Dari sisi regulasi pun, memosisikan AI sebagai arbiter juga mengundang banyak persoalan prinsipil. UU 30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, misalnya, secara tegas menyatakan bahwa Arbiter adalah orang perseorangan (pasal 1 angka 7 UU).

Selengkapnya pasal tersebut menyatakan, “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.

Dari sisi Hukum Perdata Internasional pun menjadikan AI sebagai arbiter akan mengundang masalah besar, khususnya terkait pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Meskipun saat ini Indonesia dan banyak negara telah meratifikasi The Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 dan International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention 1966 yang berisi ketentuan terkait arbitrase internasional, tetapi status AI sebagai arbiter akan tetap memantik persoalan dalam eksekusi putusan lintas negara.

Eksekusi bisa tidak dapat dilakukan, jika arbiternya tidak memenuhi syarat sesuai hukum nasional tempat putusan akan dieksekusi.

Eksekusi juga bisa ditolak jika bertentangan dengan prinsip ketertiban umum (public order) yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional.

https://money.kompas.com/read/2023/11/06/110143026/apakah-al-dapat-jadi-arbiter-dalam-penyelesaian-sengketa-bisnis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke