Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Negerinya Para Medioker

Berdasarkan estimasi World Bank, jumlah kelas menengah telah mencapai 53,6 juta (20,05 persen penduduk).

Sementara itu, kelompok menuju kelas menengah yang menjauh dari kemiskinan diperkirakan sejumlah 114,7 juta (44 persen). Kelompok ini menjadi penyumbang dominan komposisi penduduk di Indonesia.

Angka akselerasi pertumbuhan kelas menengah tentu bagus secara ekonomi. Bisa menjadi motor pertumbuhan, penggerak roda perekonomian, sekaligus penyerap hasil konsumsi.

Meskipun demikian, kelompok kelas menengah, menuju menengah, serta kelompok rentan seringkali terabaikan secara sosial, ekonomi, maupun politik. Sehingga menutup akses dan membelenggu kapabilitas mereka dalam mencapai kesejahteraan.

Ketiga kelompok ini terhimpit oleh kelompok miskin dan kelompok kelas atas. Menjadi medioker tentu terombang-ambing. Mau naik ke atas tidak ada ranting untuk dipanjat. Mau ke bawah tidak ada rumput untuk berpijak.

Berbeda dengan posisi kelas atas yang mendapatkan keringanan fiskal dan kelas bawah yang memperoleh uluran bantuan. Kelas medioker justru harus berjuang sendiri untuk mendapatkan akses dan meningkatkan kapabilitas.

Dengan semakin besarnya kontribusi, peran, dan signifikansi kelas medioker di Indonesia, seharusnya pemerintah kini dan mendatang memperhatikan dan menerapkan kebijakan akseleratif untuk melindungi kelas medioker jatuh ke lubang kemiskinan sekaligus membantu mereka merangkak naik kelas.

Tanpa sentuhan dan dorongan, niscaya sulit bagi kelas medioker untuk bertahan sekaligus melompat.

Selama ini tidak ada program khusus yang menyasar kelas menengah. Lebih banyak program atau kebijakan yang secara langsung menyasar kelas atas dan bawah.

Program tax holiday, amnesty, dan relaksasi pajak pastinya menyasar kalangan atas. Sementara pemberian bantuan langsung tunai, bantuan sosial, maupun keluarga harapan membidik kalangan bawah.

Aspirasi ekonomi

Mengakui eksistensi dan kontribusi kelas menengah perlu, namun tidak cukup untuk menahan dan mengangkat derajat kelas menengah. Pemerintah perlu memahami aspirasi ekonomi dan politik kelas menengah untuk diejawantahkan pada kebijakan.

Problem utama ekonomi yang dihadapi oleh kelas menengah adalah keterjangkauan. Keterjangkauan kebutuhan primer berupa sandang, pangan, dan papan mutlak dibutuhkan.

Keterjangkauan berhubungan dengan kapasitas daya beli. Kapasitas daya beli kelas menengah perlu didongkrak dan dijaga lewat berbagai kebijakan dan program ekonomi. Mulai subsidi, bebas pajak pendapatan, hingga akses pada konektivitas untuk menunjang mobilitas.

Selain itu, pemerintah perlu memperkuat dan melindungi hak pekerja lewat kebijakan pasar kerja yang inklusif. Mengingat bahwa konotasi kelas menengah bukan sekadar masalah pendapatan.

Terminologi kelas menengah bertalian erat dengan pekerjaan layak, posisi di masyarakat, dan representasi gaya hidup tertentu.

Sehingga menjaga dan melindungi standar hidup kelas menengah menjadi keniscayaan. Dengan demikian, akses pekerjaan, finansial, kesehatan, pendidikan, pensiunan dan gaya hidup kelas menengah terpenuhi. Dengan perlahan kapabilitas mereka meningkat.

Aspirasi Politik

Kelas menengah merupakan konstituen politik yang berjumlah besar di Indonesia. Bahkan turut dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi.

Salah satu ciri kelas menengah secara politik adalah mereka bergerak atas aspirasi, bukan ideologi. Sehingga, memahami dan mendengarkan aspirasi politik mereka adalah kunci untuk menghasilkan kebijakan yang sinergis dan partisipatif.

Seiring dengan meningkatnya akses pendidikan dan kapabilitas ekonomi yang dimiliki, aspirasi politik kelas menengah mengarah pada tuntutan hak dan layanan publik yang memadai.

Hak-hak sipil yang mengarah pada partisipasi aktif warga negara ini mestinya sudah menjadi kodrat pemerintah untuk melindungi. Layanan publik yang menjadi ruang hidup dan mobilisasi warga mutlak dipenuhi.

Ketidakmampuan negara dalam memahami aspirasi kelas menengah bakal berujung pada persekusi, intimidasi, bahkan kriminalisasi.

Respons penindakan hukum tidak akan menyelesaikan masalah, malah menghasilkan masalah baru. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun komunikasi aktif dua arah dengan tetap mendengar masukan dari warga kelas menengah.

"Trend Race to the Bottom"

Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo terdapat kecenderungan kuat menuju race to the bottom, terutama lewat UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023.

Race to the bottom merupakan fenomena perlombaan antarnegara untuk menurunkan standar sosial, lingkungan, atau ekonomi guna menarik investasi dan bisnis.

Tentu, penerima manfaat terbesar adalah kalangan atas para pemilik modal atau perusahaan multinasional, dan imbas negatifnya mengarah ke kelas menengah ke bawah.

Gejolak race to the bottom bakal memangkas akses dan kapabilitas kelas menengah ke bawah. Upah murah dan relaksasi perlindungan pekerja bakal menghambat kesejahteraan kelas menengah.

Belum lagi, masalah degradasi lingkungan dan insentif pajak bagi perusahaan yang mengurangi penerimaan negara tentu berimbas pada redistribusi kekayaan.

Pola pelimpahan tanggung jawab dan kedaulatan negara ke pasar tidak akan mengangkat derajat dan harkat kelas menengah naik. Oleh karena itu, pemerintahan kini dan mendatang perlu mempertimbangkan untuk mengubah arah kebijakan menuju race to the top.

Kebijakan yang mengarah pada race to the top tentu melibatkan kesadaran, komitmen, dan realisasi dari berbagai pihak. Mulai pemerintah, swasta hingga masyarakat Indonesia sebagai penggeraknya.

Race to the top dijalankan melalui perbaikan standar, regulasi, kebijakan untuk mencapai kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih baik dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.

Logika race to the top dimaksudkan untuk mengubah stigma buruk mengenai pembangunan. Bukan lagi siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang untung dan siapa yang rugi.

Kalau yang kelas atas mendapatkan untung dan kelas bawah mendapatkan kompensasi kerugian, lalu siapa yang akan memberi kompensasi kerugian dari kelas menengah?

Dilema pembangunan ini akan terkikis manakala kebijakan bersandar pada dimensi inklusivitas.

Mengejar pertumbuhan tanpa pemerataan tentu berat sebelah. Oleh karena itu, pemerintah yang memiliki legitimasi lebih tinggi dari warga dan aktor swasta lainnya perlu mempertimbangkan dan mengakselerasi perbaikan standar hidup, pemenuhan hak pekerja, proteksi lingkungan, perbaikan kualitas dan akses pendidikan, serta kemajuan sosial yang menjadi landasan race to the top.

Karena mustahil, Indonesia maju 2045, tapi warganya mayoritas medioker. Indonesia akan berhasil keluar dari middle-income trap, kalau mampu mengangkat derajat kelas menengah di Indonesia ikut naik.

https://money.kompas.com/read/2023/11/17/130343226/negerinya-para-medioker

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke