Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pelajaran dari Kebakaran Smelter Morowali: Keselamatan Kerja Nomor Satu

Sampai hari ini, tak kurang dari 20 pekerja yang meninggal dan beberapa orang lainnya mengalami luka bakar.

Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menegaskan akan segera melakukan gelar perkara dan menetapkan tersangka kasus ledakan tungku smelter itu. Hal itu akan dilakukan setelah polisi memeriksa 28 saksi.

Menurut Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho, langkah itu diambil karena diduga, kebakaran tersebut bisa terjadi akibat ada pelanggaran prosedur standar operasional (SOP).

Pelanggaran tersebut mulai dari sisi petugas, metode, sampai keputusan yang seharusnya diambil oleh pemangku kewenangan.

Menurut data dari Trend Asia, tak kurang dari 19 kecelakaan telah terjadi di smelter nikel di seluruh Indonesia.

Sepanjang 2015 hingga 2022, Trend Asia mencatat 53 orang pekerja smelter menjadi korban jiwa dalam kecelakaan kerja di industri nikel. Sebanyak 40 orang merupakan tenaga kerja Indonesia, sedangkan 13 lainnya merupakan tenaga kerja asing atau TKA China.

Tentu dari data tersebut, kecelakaan berupa kebakaran kali ini nampaknya merupakan yang terbesar, baik dari sisi kebakarannya maupun dari sisi korban.

Karena itu, kebakaran kali ini harus benar-benar menjadi perhatian semua pihak, mulai dari perusahaan smelter terkait, pengelola kawasan khusus industri, sampai pada pemerintah pusat.

Diperlukan evaluasi secara menyeluruh terkait regulasi keamanan dan keselamatan kerja, regulasi investasi di kawasan khusus industri, pengawasan internal dan eksternal, peran pengelola kawasan industri dalam memastikan implementasi standar keselamatan kerja, bahkan jika diperlukan, evaluasi atas strategi menggaet investasi via pendirian kawasan khusus industri.

Evaluasi menyeluruh tersebut sangat mendesak sifatnya, agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada masa depan di satu sisi dan pemerintah bisa lebih aktif dalam melakukan pengawasan pascainvestor berinvestasi di sisi lain.

Bahkan, akan sangat baik jika pemerintah segera membentuk tim evaluasi yang anggotanya berasal dari berbagai stakeholder, agar duduk perkaranya bisa lebih jelas dan langkah-langkah perbaikan bisa segera diambil.

Tim evaluasinya bisa segera bekerja, tanpa harus menunggu pihak kepolisian melakukan investigasi pidana terlebih dahulu. Karena, kedua proses bisa berjalan secara paralel.

Apalagi, target dan tujuannya toh tidak sama. Pihak kepolisian berurusan dengan urusan pelanggaran pidana, sementara tim evaluasi berurusan dengan urusan rencana kebijakan untuk barbagai perbaikan masa mendatang.

Pertama, evaluasi dari sisi keselamatan kerja akan terkait dengan praktik pengawasan keselamatan kerja secara teknis. Apakah selama ini perusahaan-perusahaan pengelola smelter telah menerapkan standar keselamatan yang sesuai dengan ketentuan.

Apakah kejadian tersebut terjadi karena kelemahan ketentuan keselamatan kerja yang sudah ada, baik dari sisi teknis maupun substantif alias apakah ketentuan yang ada memang kurang komprehensif dalam mengatur keselamatan kerja.

Atau justru terjadi karena implementasinya oleh perusahaan pengelola yang masih disepelekan, bahkan ugal-ugalan.

Implementasi ugal-ugalan bisa terjadi, misalnya, karena SDM yang direkruit sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi untuk bekerja di bagian terkait, atau justru karena perusahaan dan SDM terkait lalai dalam menjalankan beberapa prosedur keselamatan kerja yang sebenarnya telah ada dalam aturan keselamatan kerja.

Kelalaian dalam menjalankan regulasi keselamatan kerja akan menjadi domain tim evaluasi sekaligus pihak kepolisian.

Namun hasil evaluasi ini tidak saja berguna untuk menemukan siapa yang akan menjadi tersangka dalam peristiwa tersebut (ranah kepolisian), tapi juga akan sangat berguna untuk melahirkan aturan main baru agar mengurangi angka kecelakaan dan kebakaran di lokasi smelter.

Kedua, dari sisi regulasi investasi di kawasan khusus industri, diperlukan kajian dan evaluasi mendalam untuk mendapatkan insight, apakah memikat investor melalui pendirian kawasan industri dengan melonggarkan aturan khusus untuk di kawasan industri justru menurunkan standar keselamatan kerja oleh perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di kawasan industri, dibanding dengan di kawasan biasa.

Jika memang kesimpulannya demikian, maka aturan pendirian kawasan industri tentu harus ditinjau ulang. Karena secara prinsipil, meskipun pendirian kawasan industri bisa mendatangkan banyak investasi, tapi di sisi lain membahayakan keselamatan pekerja, maka "cost" kemanusiaannya terlalu mahal dibanding dengan target ekonomi yang ingin dicapai.

Hal ini terkait erat dengan kebijakan strategis pemerintah dalam mendatangkan investor alias terkait erat dengan kebijakan kemudahan berinvestasi yang dikeluarkan pemerintah.

Dengan kata lain, hasrat untuk tetap mendapatkan investor semestinya tidak mengorbankan hal strategis lainnya, terutama soal keselamatan kerja pekerja di kawasan khusus industri.

Pemerintah harus tetap selektif dalam menerima investor, terutama investor yang terindikasi tidak terlalu mengutamakan keselamatan pekerjanya.

Ketiga, evaluasi juga perlu dilakukan pada peran perusahaan pengelola kawasan karena perusahaan ini akan menjadi eksekutor aturan formal di kawasan tersebut, yang semestinya berlaku tanpa pandang bulu di dalam kawasan.

Apakah perusahaan pengelola kawasan ikut aktif menjadi pengawas teknis atas implementasi aturan keselamatan kerja di setiap perusahaan yang ada di kawasan.

Atau justru sebaliknya, pengelola kawasan sama sekali tidak terlibat dalam memastikan terjalankannya aturan keselamatan kerja yang ada.

Memang harus diakui keberadaan smelter dan kawasan khusus industri sangat diperlukan. Smelter sangat dibutuhkan karena berguna untuk meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir.

Sementara kawasan khusus industri telah terbukti sangat sukses dalam menggaet banyak investor selama ini.

Namun kita semua juga mahfum bahwa bekerja di perusahaan smelter dan proses smelting merupakan pekerjaan dan proses yang penuh dengan risiko.

Pasalnya, pekerja harus bersinggungan langsung dengan suhu tinggi, misalnya, yang bisa membahayakan keselamatan. Pun terkadang bijih yang diolah juga mengandung zat-zat berbahaya.

Belum lagi alat-alat berat yang digunakan menyimpan potensi risiko besar karena harus mengoperasikannya dengan sangat berhati-hati dan dilakukan oleh SDM yang memenuhi kualifikasi untuk pekerjaan tersebut.

Begitu pula dengan keberadaan kawasan khusus industri. Keberadaan kawasan khusus industri mengurangi berbagai aturan formal yang berlaku di luar kawasan industri.

Artinya, peran pemerintah melalui regulasi akan terkurangi secara signifikan, sesuai dengan level dan kualitas liberalisasi ekonomi yang diberlakukan untuk kawasan tersebut. Karena itulah disebut dengan istilah kawasan khusus.

Namun demikian, alasan-alasan fundamental tersebut tidak layak dijadikan pembenaran atas terjadinya berbagai kecelakaan kerja dan berbagai bentuk kebakaran di perusahaan-perusahaan yang ada di dalam kawasan Industri.

Karena idealnya, tingkat keselamatan kerja di kawasan khusus industri harus lebih tinggi, dengan tingkat pengawasan yang ketat, untuk mempertahankan status kawasan khususnya.

Pelonggaran regulasi di kawasan khusus semestinya hanya berlaku untuk syarat-syarat normatif dan fiskal semata, bukan syarat-syarat teknis yang sifatnya universal, seperti syarat kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kerja.

Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh harus dilakukan segera oleh pemerintah, baik untuk membenahi regulasi teknis tentang keselamatan kerja agar tidak ada lagi peristiwa yang sama pada masa mendatang di satu sisi, maupun untuk memastikan agar semua pihak yang terkait dengan industri di kawasan khusus industri "aware" dengan perannya masing-masing dalam menjamin terimplementasinya standar keselamatan kerja di perusahaan smelter.

Keseriusan pemerintah dalam mengevaluasi masalah ini sangat menentukan dalam perbaikan implementasi prosedur keselamatan kerja di kawasan khusus industri pada masa mendatang, pun sangat ditunggu-tunggu oleh publik.

Selama ini, pemerintah cenderung reaktif terhadap kasus serupa di mana pemerintah bergerak di saat ada kasus terjadi, lalu seiring berjalan waktu di tengah jalan masuk angin.

Tak jelas perbaikan dan pembenahan yang dilakukan, seolah-olah pemerintah secara terbuka menunjukkan keberpihakan kepada pihak investor termasuk di Morowali.

Padahal pembenahan di satu sisi dan ketegasan pemerintah di sisi lain sangat diperlukan untuk membuktikan bahwa pemerintah tidak tunduk kepada investor dari negara tertentu.

Dan pihak investor tidak boleh suka-suka dalam menjalankan investasinya karena menganggap enteng pemerintah Indonesia.

Secara teknis pengawasan kawasan Smelter berbeda dengan pengawasan tambang, kecuali kalau Smelter itu menjadi bagian dari tambang.

Jika unit pengolahan dan pemurnian mineral berdiri sendiri dan terpisah dari tambang, terutama jika menjadi kawasan industri sendiri seperti yang ada di Morowali, maka secara regulasi pengawasannya berada di bawah Kementerian Perindustrian.

Namun nampaknya dari sisi organisasi pemerintah yang terkait dengan urusan kawasan khusus industri, kompetensi para pengawas untuk menangani industri yang kompleks dan beresiko tinggi seperti smelter dan refinery logam oleh banyak pihak masih dianggap kurang.

Ada dugaan bahwa selama ini kapasitas dan kompetensi pengawasan operasi smelter belum setara dengan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang ada di lokasi pertambangan dan migas di bawah Kementerian ESDM.

Di Kementerian ESDM, ada direktorat khusus yang menangani isu sejenis, yaitu Direktorat Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba. Sementara di Kementerian Perindustrian seharusnya juga ada bagian yang menangani hal serupa.

Sekalipun kita asumsikan ada pengawas, akses mereka terhadap operasional smelter dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan secara berkala konon juga sangat terbatas, bahkan dipersulit.

Dalam banyak kasus, kawasan industri pengolahan logam sangat ekslusif dan terbilang tertutup.

Boleh jadi karena belum didukung oleh dasar hukum/aturan yang kuat dalam melakukan pengawasan di kawasan khusus industri sejenis, pengawasan akhirnya tak berjalan sebagaimana semestinya.

Kita berharap kedepannya aspek K3, yang secara spesifik menyangkut nyawa manusia harus benar-benar diperhatikan dan menjadi prioritas bagi negara beserta seluruh pemangku kepentingan termasuk kalangan pelaku usaha.

Semua instrumen dan infrastruktur pendukung, baik SDM maupun regulasi harus dievaluasi dan diperkuat sesuai perkembangan teknologi.

Bagaimanapun, penerapan dan pencapaian keselamatan tenaga kerja adalah salah satu cerminan peradaban industri negara, yang juga menjadi identitas melekat bagi negara tersebut dalam upaya menarik investasi berkualitas dan berkelanjutan.

https://money.kompas.com/read/2024/01/04/070000926/pelajaran-dari-kebakaran-smelter-morowali--keselamatan-kerja-nomor-satu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke