Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ancaman Inflasi Pangan di Depan Mata Perlu Segera Diatasi

Seperti dikutip Kompas.com (4/3/2024), Arief mengatakan bahwa inflasi pangan (atau sering disebut inflasi karena harga pangan yang bergejolak atau volatile foods) selama periode tahun 2020-2024 sebesar 5,6 persen.

Angka inflasi pangan tersebut lebih tinggi dari kenaikan UMR pada periode sama, yaitu 4,9 persen.

Inflasi pangan rata-rata selama periode tahun 2020-2024 juga hampir menyamai kenaikan gaji ASN selama periode 2019-2024 sebesar 6,5 persen.

Dalam pernyataan sama, Arief juga mengatakan bahwa porsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan cukup besar, yaitu 33,7 persen. Pangan yang harganya naik akhir-akhir ini adalah beras, cabai merah, dan telur.

Pernyataan Arief Hartawan tersebut menegaskan betapa pentingnya sebenarnya mengendalikan inflasi pangan, minimal karena dua alasan.

Pertama, inflasi pangan telah menggerogoti daya beli masyarakat atau membuat penghasilan riil mereka turun.

Seperti dinyatakan Arief bahwa pengeluaran rata-rata masyarakat untuk pangan mencapai 33,7 persen. Artinya kalau penghasilan masyarakat tetap dan harga pangan terus naik, maka porsi untuk pengeluaran pangan makin membengkak sehingga jatah untuk pengeluaran lain makin mengecil.

Menjadi masalah kalau pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan menjadi lebih kecil.

Kedua, membandingkan inflasi pangan dengan kenaikan UMR dan kenaikan gaji ASN  bukannya tanpa maksud.

Arief mungkin hendak menandaskan bahwa yang paling terkena dampak inflasi pangan adalah tenaga kerja atau buruh dan ASN.

Dua kelompok pekerja inilah yang memang rawan terkena dampak paling besar dari inflasi pangan khususnya dan inflasi pada umumnya karena upah dan gajinya biasanya pas-pasan dan jarang dinaikkan.

Padahal keduanya aktor yang sangat penting dalam perekonomian dan pemerintahan.

Dampak negatif inflasi

Sebenarnya ada dampak negatif lain terjadinya inflasi. Pertama, inflasi akan semakin memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan.

Orang kaya dengan inflasi yang tinggi akan semakin diuntungkan karena ada asetnya yang nilainya ikut naik, misalnya: tanah dan bangunan.

Sementara orang miskin yang hanya punya uang tunai, aset atau hartanya akan makin menurun.

Kedua, inflasi tinggi juga akan menyebabkan ketidakstabilan dalam perekonomian. Sejarah mencatat Orde lama runtuh karena terjadinya inflasi tinggi, yaitu mencapai 600 persen. Artinya harga-harga naik enam kali lipat.

Ada gerakan Tritura yang antara lain menyerukan turunkan harga. Ketika pemerintah tak kunjung bisa menurunkan harga, maka pemerintah Orde lama harus lengser atau berakhir.

Pada kejatuhan Orde Baru juga terjadi hal sama. Dimulai dari krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di mana rupiah mengalami penurunan terus menerus dari Rp 4.850 per dollar AS pada Agustus 1997 menjadi Rp 17.000 per dolar AS Januari tahun 1998.

Nilai tukar rupiah mengalami penurunan atau terdepresiasi 80 persen. Akibatnya, inflasi meroket menjadi 54,54 persen pada akhir Agustus 1998.

Karena depresiasi rupiah yang tajam itu, maka harga barang-barang impor naik. Padahal ketergantungan Indonesia terhadap barang impor, baik barang modal maupun barang konsumsi, masih cukup tinggi.

Kenaikan harga barang impor akan memicu kenaikan barang di dalam negeri atau terjadi kenaikan inflasi. Pemerintahan Soeharto yang sudah bertahan selama 32 tahun harus berakhir.

Oleh karena itu, menjadi harapan banyak pihak terutama masyarakat agar inflasi pangan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama karena kenaikan harga beras segera bisa diatasi pihak-pihak terkait terutama pemerintah.

https://money.kompas.com/read/2024/03/05/053054726/ancaman-inflasi-pangan-di-depan-mata-perlu-segera-diatasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke