Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tersandung Produk Derivatif Perbankan, Nasabah Siapkan Gugatan

Kompas.com - 30/01/2009, 14:22 WIB

Namun, dalam perkembangannya, transaksi ini dimanfaatkan untuk mendulang untung. "Karena ada pasarnya, bank agresif menjual kontrak derivatif," timpal seorang bankir yang ogah disebut namanya.

Nah, transaksi ini menjadi bermasalah karena gejolak pasar finansial berimbas ke sektor riil. Ada banyak importir yang membatalkan kontrak pembelian barang sehingga eksportir tak dapat pemasukan. Akibatnya, eksportir tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya sesuai kontrak derivatif, yaitu menjual dollar ke bank.

Selain itu, penurunan harga komoditas sejak pertengahan tahun lalu turut berkontribusi atas kerugian yang diderita para eksportir. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan dollar yang cukup untuk membayar transaksi derivatif. "BI melihat potensi besar gagal bayar dari produk itu," kata Bistok.

Sebenarnya, derita tak hanya ditanggung nasabah. Produk yang diberi label oleh Bank Indonesia sebagai sophisticated product ini juga menjadikan bank sebagai korban. Seorang bankir bercerita, produk tersebut melibatkan bank lain sebagai mitra. Sederhananya, bank penjual produk derivatif juga telanjur terikat kontrak menjual dollar kepada bank lain. "Biasanya kepada bank asing yang lebih besar," imbuh dia.

Otomatis, kalau sampai kontrak dengan nasabah macet, bank tidak bisa menjual dollar ke bank lain sesuai perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. "Jadi, sekarang bank tergencet dari dua sisi, yaitu dari nasabah dan counter part-nya," ujar bankir dari salah satu bank swasta tersebut.

Laporan keuangan bulanan bank per November 2008 kepada Bank Indonesia mengungkapkan fakta menarik. Hampir semua bank lokal dan asing mencatatkan lonjakan tagihan derivatif. Jika ditotal, tagihan derivatif 17 bank besar mencapai Rp 43,73 triliun. Nilai itu setara dengan pernyataan seorang pejabat bank sentral beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa total nilai kontrak derivatif di perbankan berkisar 4 miliar dollar AS.

Bank Permata mengalami lonjakan tagihan derivatif terbesar. Pada September 2008, tagihan derivatif mereka masih Rp 36,53 miliar. Dua bulan kemudian, nilai pos yang sama membengkak 2.230 persen menjadi Rp 851,22 miliar.

Dari nilai tagihan, Standard Chartered Bank membukukan tagihan produk derivatif paling gede. Per November 2008, tagihan derivatif mereka mencapai Rp 11,61 triliun.

Sayang, hampir semua bank enggan buka-bukaan soal pembengkakan tagihan produk derivatif tersebut. Aminarno Kermaputra, Senior Manager Corporate Standard Chartered, mengatakan, pembengkakan kewajiban dan tagihan derivatif per November 2008 lebih karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. "Sekarang sudah menurun lagi karena kurs yang berbeda," imbuh dia.

Wang Wardhana, Head of Consumer Banking Dealer bank yang sama, menambahkan bahwa sampai saat ini tidak ada masalah penyelesaian kontrak derivatif dengan para nasabah. Apalagi, jangka waktu kontrak dengan nasabah ritel relatif hanya satu hingga tiga bulan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com