Apa yang dikatakan oleh Majalah Newsweek awal Februari 2009 bahwa “We are all Socialist Now” dan juga Kevin Kelly di majalah Wired edisi Mei 2009 yang mengatakan “The New Socialism: Global Collectivist Society Is Coming Online” mungkin ada benarnya.
Fenomena Web 2.0 ini seperti mengingatkan kita kembali ke peribahasa yang populer di Indonesia “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Ia berlandaskan filosofi paham sosialisme yang bersemangatkan persaudaraan, bertujuan untuk memakmurkan dengan usaha kolektif yang produktif. Semua individu berorientasikan kepada terciptanya suatu kebahagiaan bersama, dan itu tercipta dari masyarakat yang hidup secara kolektif dan hidup saling tolong menolong.
Jika dilihat dari sejarah dan perkembangannya di era sekarang, maka tak heran kalau platform yang berbasiskan kolektivisme dan komunal, baik itu di dunia online dan offline, menjadi mudah ‘dijual’ untuk orang-orang di Indonesia.
Meskipun dulu struktur dan politiknya sangat vertikal, Indonesia, notabene-nya adalah collectivist society. Struktur sosial dan pola budayanya bisa dibilang sudah sejak dulu bersemangatkan horisontal, mulai dari aktivitas arisan, gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, kerja bakti, kalau sakit saling mengunjungi, sampai beramai-ramai mengantar jenazah.
Berbagai macam kekacauan yang belakangan terjadi, seperti aksi terorisme, tsunami, sampai gempa bumi di Tasikmalaya baru-baru ini, terus memanggil kembali rasa kemanusiaan dan solidaritas masyarakat. Dan itu terlihat secara langsung dari berapa sering kita mendengarkan dan menyanyikan lagu “Berita Kepada Kawan” yang dibawakan Ebiet G. Ade di dunia offline, sampai ekspresi yang kita berikan di Twitter, Facebook, dan lain sebagainya.
Di tengah berkembangnya dunia teknologi informasi dan komunikasi, kita semua saling terjaring dalam dunia sosial dan budaya yang baru yang lebih humanis. Contoh di dunia maya sudah membuktikan pula bahwa agama (belief) yang bersifat vertikal bisa hidup berdampingan dengan aspek kemanusiaan (humanity) dan sosial-budaya yang bersifat horizontal.
Di era New Wave, dengan segala platform yang kita gunakan, kita dapat menjelajah galaksi dan membuka cakrawala baru di mana tiap-tiap manusia semakin kecil dan tidak berarti. Pertentangan agama dan etnik yang sangat vertikal menjadi tidak ada artinya. Karena di era ini, embel-embel suku, agama, ras, etnis, lantas nyaris tidak kelihatan lagi secara nyata. Yang terlihat adalah semangat horisontal yang berlandaskan kemanusiaan dan rasa persaudaraan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.