Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Hercules di Riau Airlines (1)

Kompas.com - 18/10/2010, 09:19 WIB

Jabatan Dirut kemudian diserahkan kepada Heru Nurhayadi pada tahun 2004. Di permukaan, Heru relatif lebih tenang dalam menjalankan RAL. RAL kemudian menambah tiga pesawat jenis Fokker F50 seharga Rp 85 miliar.

Baru pada tahun 2008, atau setelah hampir empat tahun Heru menjabat, permasalahan RAL muncul ke luar. Heru di demo oleh anggotanya sendiri, bahkan pilot dan pramugari ikut serta. Namun Heru belum mau menyerah.

Mundurnya Kepala Pilot Feri Novara dan Manager Operasi Maman Syaifurrahman yang merupakan pemegang posisi kunci keselamatan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) RAL, membuat kondisi jadi berbalik. Pada 24 Juli 2008, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budi Muliawan Suyitno menyatakan RAL tidak memenuhi syarat teknis untuk dinyatakan layak terbang lewat surat bermomor : AU/4348/DSKU/2421/2008.

Pada 6 November 2008, Heru diberhentikan dan digantikan oleh Samudra Sukardi, kakak kandung mantan Menteri BUMN era Presiden Megawati, Laksamana Sukardi. Dimasa Samudra, RAL menambah armada dengan pesawat jet berbadan kecil jenis BAE RJ 100 dengan jumlah 108 penumpang .

Samudra bahkan berani bersaing dengan perusahaan penerbangan yang sudah lebih dulu eksis di Tanah Air dengan membuka jalur paling padat Pekanbaru-Jakarta. Samudra bahkan sempat berpikiran membuka jalur Pekanbaru-Jedah, Arab Saudi. Namun pilihan bersaing di jalur gemuk itu ternyata salah, dengan pesawat yang tidak didesain untuk perjalanan panjang, RAL terseok-seok dan tidak mampu bersaing dengan armada LION, Batavia, Sriwijaya, Mandala atau Garuda yang memakai pesawat jet berbadan lebih besar dan nyaman.

Terbukti, pada awal April 2010, Dirut RAL yang sudah dipegang oleh Teguh Triyanto mengembalikan BAE Avro RJ 100 kepada pemiliknya. Beban sewa dua pesawat itu sebesar Rp 3 miliar setiap bulan, menggerogoti keuangan RAL.

Teguh mengambil jalan berbeda dibandingkan pendahulunya. Jalur-jalur yang kurus ditinggalkan dan lebih banyak mencari penerbangan kontrak dengan pemerintah daerah atau penerbangan carter. Teguh juga mengupayakan penambahan armada dengan menyewa pesawat Boeing untuk bersaing di jalur gemuk. Kedatangan pesawat berbadan lebar itu dis ebut-sebut sudah akan tiba di Pekanbaru pada bulan Agustus, namun sampai Oktober ini, pesawat itu belum juga terwujud, karena pemilik belum juga menyetorkan dana.

Pada Mei 2010, Rapat Umum Pemegang Saham PT RAL yang berjumlah 18 pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Sumatra menyepakati penambahan modal Rp 55,4 miliar. RUPS juga menyetujui langkah kerjasama operasi dengan salah satu perusahaan di Eropa untuk pengoperasi 20 pesawat jenis Embraer dan penambahan modal segar Rp 250 miliar.

"Uang yang dijanjikan dari RUPS memang belum diberikan. Kami berharap, dapat disetorkan segera untuk mengoperasikan RAL lagi. KSO itu juga belum jelas," ujar Teguh Triyanto dalam pembicaraan dengan Kompas pekan lalu.

Juni 2010, muncul cerita baru. Tiga dari empat Direksi PT RAL, tanpa Teguh Triyanto, menandatangani kesepakatan kerjasama dengan PT Cokro Suryanusa Sentosa (Cossen). Tidak tanggung-tanggung, Cossen dikabarkan siap menyuntikan modal sebesar Rp1 triliun. Dalam keuntungan kerjasama operasi itu, Cossen akan mendapat bagian 40 persen, adapun RAL 60 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com