Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lindungi TKI dengan Hati

Kompas.com - 14/02/2011, 04:24 WIB

Gelombang pertama pemulangan 241 tenaga kerja Indonesia yang membawa 27 anak-anak dan 38 bayi dari Jeddah, Arab Saudi, dijadwalkan tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin siang. Gelombang kedua yang sebagian besar adalah TKI yang telah sekian lama tinggal di kolong jembatan Al-Kandarah, Jeddah, dijadwalkan mendarat hari Selasa besok.

Bukan kebetulan apabila pemerintah akhirnya memulangkan 566 warga negara Indonesia (WNI) bermasalah dari Jeddah, Arab Saudi, tepat saat Hari Kasih Sayang. Mereka bisa pulang setelah Pemerintah Arab Saudi memberikan izin keluar massal dan membebaskan dari denda pelanggaran izin keimigrasian.

Banyak yang berhasil sejahtera dengan membangun rumah permanen, membeli sawah, sampai memulai usaha mandiri di Tanah Air karena mendapatkan majikan yang beradab. Bahkan, banyak juga TKI pembantu rumah tangga (PRT) yang ikut diajak majikan berlibur ke luar negeri. Namun, tak sedikit yang pulang dengan tubuh penuh cedera atau bahkan tinggal nama karena menjadi korban kekejian majikan saat bekerja di Arab Saudi.

Beban kerja yang berlebihan—terkadang satu rumah berisi dua keluarga sampai tiga keluarga, mengurus segala tetek bengek rumah tanpa jam kerja yang jelas, sampai isolasi di rumah majikan karena adat setempat yang mengutamakan privasi—membuat TKI PRT kerap terjebak dalam posisi sulit. TKI terkadang tidak tahu mengadu ke mana saat mendapatkan majikan yang mengeksploitasi tenaga mereka bagai budak.

TKI pun kemudian nekat kabur. Ada yang berhasil masuk ke Kedutaan Besar RI dan Konsulat Jenderal RI. Ada juga yang malah terdampar di kolong jembatan Al-Kandarah di Jeddah.

Mereka bergabung dengan ratusan warga negara asing lain yang ingin dideportasi dari Arab Saudi. Deportasi adalah cara pulang ke Indonesia paling murah asal mereka tidak memiliki dokumen. Apabila tertangkap dengan paspor di tangan, denda pelanggaran izin tinggal mencapai 10.000 riyal atau Rp 24,1 juta.

Menuntut majikan lewat jalur hukum sendirian rasanya ibarat jauh panggang dari api. Menurut seorang mantan pejabat atase di Kedutaan Besar RI di Riyadh, Arab Saudi, polisi setempat saja tidak bisa sembarangan menerobos kediaman seseorang untuk menangkap tersangka kejahatan. Polisi baru dapat menangkap saat tersangka keluar rumah. Begitu kuat penghargaan terhadap privasi di sana.

Masih segar dalam ingatan kita saat kasus penganiayaan Sumiati binti Salan Mustapa (23), TKI asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, terungkap awal November 2011. Kasus penganiayaan oleh majikan sampai digunting bibirnya ini mencuat saat Sumiati dirujuk ke Rumah Sakit Raja Fahd di Madinah, Arab Saudi. Pihak rumah sakit menginformasikan hal ini kepada pejabat Konsulat Jenderal RI di Jeddah.

Walaupun Pemerintah Arab Saudi menyatakan bahwa penganiaya Sumiati akan mendapat hukuman setimpal, faktanya hakim memvonisnya tiga tahun penjara. Pemerintah Indonesia hanya bisa memprotes. Pengguna jasa bisa saja berkilah, penganiayaan terjadi karena tidak puas dengan kemampuan TKI PRT yang tidak sesuai dengan janji agen pekerja asing. Dalam kasus Sumiati, yang memiliki sertifikat kompetensi kerja resmi, ternyata dia tak mampu berbahasa Arab.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi saat pemerintah terus membanggakan peranan sedikitnya 6 juta TKI yang mengirim devisa 7,1 miliar dollar AS tahun 2010? Sungguh mereka yang mendapat amanat rakyat mengurus soal perekrutan, pelatihan, penempatan, dan perlindungan masih memperlakukan TKI dari sudut pandang komoditas semata.

Sudah semestinya pemerintah membangun sistem perekrutan, pelatihan, dan penempatan yang transparan untuk memudahkan perlindungan TKI. Kita menanti pemerintah yang serius membela dan melindungi TKI. Bukan sekadar pidato keprihatinan.

(Hamzirwan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com