Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tsunami" Proyek Jepang

Kompas.com - 14/03/2011, 07:14 WIB

KOMPAS.com — Shinkansen terbaru, Hayabusa, berkelir putih-hijau yang diluncurkan dengan gegap-gempita pada Sabtu (5/11/2011 ), untuk sementara tak beroperasi. Japan Railway (JR) East perusahaan kereta api yang masuk Fortune 500, menemukan kerusakan rel di jalur Sendai-Morioka, paska gempa dan tsunami besar hari Jumat lalu .

Sementara Bandara Sendai, bandara dengan dua landasan pacu atau runway, yang mulai dioperasikan tahun 1943, porak-poranda. Sebanyak 2.200 orang sempat terisolasi di terminal Bandara Sendai. Pesawat-pesawat diwartakan diombang-ambingkan tsunami hingga ke pekarangan warga.

Belum lagi, ada kerusakan infrastruktur energi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Serta kerusakan berbagai fasilitas publik, yang bila anda sudah pernah ke Jepang, bakal tahu betapa humanisnya fasilitas-fasilitas itu, sehingga pastinya sangat mahal.

Estimasi dari Jefferies International Ltd, kerugian akibat gempa mencapai 10 miliar dollar Amerika, sekitar Rp 87 triliun. Tentu, itu kerugian sementara . Ketika tanggap darurat usai, prediksi kebutuhan dana untuk pemulihan baru akan diungkapkan . Angkanya pasti luar biasa fantastis, dengan banyak deretan angka.

Sekedar pembanding, kerugian akibat Gempa Kobe, Januari 1995 mencapai 100 miliar dollar Amerika, sekitar Rp 870 triliun. Itu dulu 16 tahun lalu, bagaimana dengan hari ini, ketika inflasi dan harga barang sudah berlipat-lipat ganda dibanding tahun 1995?  

Tsunami

Jepang dan Indonesia, di atas peta terpisah 5.000 kilometer. Meski demikian, tsunami dari Jepang walau tak ganas, telah menghampiri pesisir utara Sulawesi dan Papua. Akan tetapi, tampaknya tsunami lebih dashyat akan menerjang republik ini.

Mengapa? Sebab boleh jadi, Tokyo menarik komitmen pinjamannya melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), untuk merekonstruksi infrastruktur di Jepang bagian utara. Atau, setidaknya, bila dana dari Jepang tetap tersedia, maka proyek menjadi tertunda dalam hitungan bulan bahkan tahunan.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proyek-proyek infrastruktur maupun transportasi yang dibiayai pinjaman lunak dari negara donor, umumnya dikerjakan tenaga terampil maupun ahli dari negara itu. Tujuannya, toh, untuk menyerap tenaga kerja di negara asal, d an demi perputaran uang yang lebih menguntungan.

Karena itu, menjadi lumrah, ketika mungkin dana tetap tersedia bagi kita, tapi pekerja-pekerja Jepang lebih dibutuhkan untuk menghapus lara dan menormalkan kondisi di sana paska tsunami.

Namun, ketika hal itu terjadi, pengaruhnya sangat terasa. Sebab proyek-proyek yang didanai Jepang itu sangat-sangat strategis bagi kelanjutan hidup kita sebagai sebuah bangsa.

Diantaranya, ada komitmen dana Rp 722,7 miliar untuk membangun seksi I dari Tol Akses Tanjung Priok , dengan total dana pinjaman yang diperkirakan mencapai Rp 3 triliun.

Tol itu sendiri, sangat dinanti untuk melancarkan perjalanan truk kontainer menuju Pelabuhan Tanjung Priok, yang menguasai pengangkutan 70 persen barang dari republik ini ke luar negeri. Memang jam ak terjadi, kemacetan di jalan-jalan arteri menuju Tanjung Priok karena memang akses jalannya kini tak lagi memadai dan diperparah truk-truk yang parkir di tepi jalan.  

Lantas, ada komitmen pinjaman JICA sebesar 1 20 miliar yen atau Rp 12,7 triliun untuk membangun 15,5 kilometer Mass Rapid Transit (MRT) dari Lebak Bulus ke Bundaran HI. Penundaan terhadap proyek MRT, sama artinya menguburkan impian warga Jakarta naik subway , dan makin mempertontonkan tidak adanya solusi bagi kemacetan Jakarta.

Dan juga, ada pinjaman senilai 60 miliar yen atau Rp 6 triliun bagi proyek double-double track (DDT) dari Manggarai ke Cikarang (32 km). Jalur rel ganda-ganda ini, sangat diharapkan untuk mengatasi kemacetan di jalur rel akibat persinggungan antara kereta api jarak jauh dengan jara k dekat, antara kereta argo dengan kereta rel listrik (KRL). Juga untuk jalur ekspress bagi kereta barang dari dryport Cikarang menuju Pelabuhan Tanjung Priok.  

Solusi

Tentu saja, tak diharapkan terjadi penundaan atau bahkan pembatalan proyek. Namun, mesti dipahami, Jepang dalam beberapa bulan dan tahun ke depan, pasti berkutat memperbaiki infrastrukturnya.

Bagaimana bila rakyat Jepang, menuntut parlemen dan Perdana Menterinya untuk membangun lebih canggih infrastruktur penahan tsunami? Lagi-lagi, fokus pemerintah Jepang pasti ke sana.

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono sebenarnya mencoba menenangkan, dengan mengatakan, ketika gempa bumi Kobe terjadi tahun 1995, tak terlalu banyak kok penundaan proyek dari Jepang .

Namun, tetap saja pemer intah harus melangkah lebih cepat. Sebab ketika Tokyo menarik atau menunda pinjamannya, maka transportasi negeri ini terancam mandek total.

Lantas, bagaimana solusinya? Kedepankan sinergi BUMN!

Buatlah rencana kerja untuk memberdayakan puluhan hingga ratusan triliun rupiah dana perbankan yang mengendap di Bank Indonesia. Perbankan kita jangan menjadi pengecut, jangan takut ada kredit macet dan sebagainya, gelontorkan dana itu untuk proyek-proyek infrastruktur dan transportasi!

Bukankah ada jutaan warga negeri ini yang masih menganggur? Bukankah juga ada ratusan pekerja PT Wijaya Karya, Tbk, misalnya, yang sementara mengganggur akibat terhentinya proyek di Libya sana oleh karena konflik rakyat dengan Khadafi?   

BUMN Jasa Marga, PT Pelindo, Angkasa Pura I, dan Bali Tourism Development Center (BTDC), telah menyontohkan sinergi BUMN dengan berkongsi membangun Jalan Tol Serangan-Tanjung Benoa sepanjang 11,5 kilometer.

Menteri Negara BUMN, juga telah menyuruh beberapa BUMN untuk membangun rel ganda dari Jakarta ke Surabaya, untuk angkutan logistik berbiaya Rp 6,5 triliun saja, dibanding hitungan awal sekitar Rp 7,2 triliun?

Nah, perbanyaklah sinergi BUMN itu. Berdikarilah. Berdiri-lah di kaki sendiri....(HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com