Perlu pembaruan, baik dari aspek kelembagaan, prinsip-prinsip, sistem pembiayaan, maupun manfaat yang selayaknya diterima peserta jaminan sosial, yaitu seluruh rakyat Indonesia. Pendekatannya integratif, tidak sektoral atau berdasarkan jenis jaminan sosial, karena di hadapan UUD 1945 setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh jaminan sosial.
Bahwa di masyarakat ada pengelompokan masyarakat sesuai pekerjaan atau status sosial tak boleh mengurangi cita-cita untuk dapat memberikan perlindungan sosial yang layak bagi semua warga negara tanpa diskriminasi. Inilah semangat UU No 40/2004 sehingga UU ini (sebenarnya) merupakan koreksi, penyempurnaan sistem, dan upaya peningkatan cakupan kepesertaan serta perluasan manfaat program jaminan sosial yang selayaknya diberikan kepada seluruh rakyat.
Selain itu, juga ”khas” Indonesia. Ada peserta yang iurannya dibayar pemerintah sesuai amanat konstitusi. Penyelenggaraan program jaminan sosial bagi masyarakat miskin dan tak mampu, diintegrasikan atau dititipkan kepada kelompok masyarakat mampu sehingga terbuka peluang efisiensi penyelenggaraan program dan kegotongroyongan.
Awalnya, UU No 40/2004 membuka peluang kelahiran empat BPJS, yang dalam hal ini merupakan transformasi empat BUMN yang ada, bahkan membuka peluang lahirnya BPJS baru meski tak mudah untuk dapat memenuhi prinsip-prinsip dalam UU No 40/2004. Contohnya, jika ada pemda yang ingin membentuk BPJS, akan sulit memenuhi prinsip ”portabilitas”.
Demikian juga dari aspek jumlah peserta, yang tentu saja bisa memperlemah prinsip hukum ”bilangan banyak” (the law of large numbers) sehingga iurannya akan lebih mahal, yang justru akan membebani peserta. Dibuka peluang BPJS lain untuk memenuhi semangat demokratisasi meski secara teknis dan ekonomi tak layak sehingga semangatnya adalah tak menambah BPJS yang sudah ada. Amanat ini pun ternyata tak terlaksana sesuai UU No 40/2004, bahwa penyesuaian keempat BUMN harus terlaksana selambat-lambatnya lima tahun setelah UU tersebut terbit. Pemerintah, dalam hal ini, dapat dikatakan telah ”lalai”.
Karena itu, pada awal 2010, DPR mengusulkan RUU inisiatif BPJS. Dalam RUU inisiatif, DPR selangkah lebih maju dengan mengusulkan BPJS tunggal yang merupakan peleburan dari empat BUMN yang ada. Usulan ini dianggap mengejutkan meski (sebenarnya) sudah diantisipasi tim SJSN ketika mempersiapkan RUU SJSN. Sebuah langkah percepatan untuk menebus keterlambatan yang sudah terjadi lima tahun. Adapun pemerintah mengusulkan dua BPJS.
Dengan mengantisipasi proses yang diperlukan, secara teknis, melangkah ke wadah tunggal akan lebih kecil membuat masalah, sebagaimana digambarkan di atas. Adapun usulan dua BPJS, jika merupakan peleburan BUMN yang ada, akan lebih sulit mengingat kita harus mengurai setiap BUMN yang memiliki aset, personel, jenis manfaat, dan sistem berbeda sehingga tak mudah mengelompokkan ke dalam dua BPJS. Adapun menambah dua BPJS di samping empat BUMN yang ada akan lebih membuat rancu dan inefisien penyelenggaraan jaminan sosial sehingga selayaknya tak dilakukan.