Obama berpidato di televisi pada hari Senin (25/7). Ia berharap segera ada kata sepakat mengenai kenaikan pagu utang negara, yang membuat Gedung Putih bisa menutupi defisit anggaran yang besar.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam beberapa pekan ini sudah terjadi permainan berbahaya dan negara itu tidak sanggup menanggungnya. Beberapa saat setelah Obama berbicara di Gedung Putih, kurs dollar AS terhadap yen Jepang melemah mencapai titik terendah dalam 4 bulan terakhir.
Obama menyalahkan penolakan kubu Republik untuk menaikkan pagu kredit dari 14,3 triliun dollar AS. Republik meminta ada pemangkasan anggaran negara jika pagu utang hendak dinaikkan.
Jika Kongres gagal menaikkan pagu utang pada 2 Agustus, perekonomian AS bisa terguncang. ”Kebuntuan dalam pencapaian kata sepakat berisiko menimbulkan krisis ekonomi dalam,” kata Obama.
Obama menolak proposal dari Partai Republik untuk menaikkan sementara pagu utang dengan alasan kenaikan sementara itu tetap akan menimbulkan masalah dan berpotensi mengulangi krisis.
Obama tidak mau dibuat pusing dengan kesepakatan sementara karena masalah utang dan defisit bukan masalah yang mudah untuk diatasi dalam jangka pendek. ”Negara besar di bumi ini tidak dapat lagi bergerak. Ini adalah permainan yang sangat membahayakan, kita tidak sanggup memainkannya saat ini,” ujar Obama.
Republik juga berkepentingan menghadapi benturan ekonomi dengan harapan bahwa warga tidak akan mau memilih Obama lagi. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa Obama dianggap sebagai orang yang turut berperan membuat masalah ekonomi. Namun, dalam jajak pendapat serupa juga disebutkan bahwa Partai Republik tidak lebih bagus pula dari Obama.
Kurs dollar AS melemah terhadap yen Jepang hingga titik terendah selama empat bulan terakhir pada posisi 77,90 yen, mendekati rekor terendahnya 76,25. ”Orang terbiasa menggunakan dollar, dollar adalah pusat dari segalanya,” ujar analis dari Lloyds Bank, Charles Diebel.
”Kurangnya progres pembicaraan soal pagu utang di Washington membuat dollar AS menjadi tertekan,” kata analis di Rabobank International, Philip Marey.