KENDARI, KOMPAS
”Kami minta kepada Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) untuk mempertimbangkan mengundur aturan itu hingga 31 Desember 2012. Waktunya sangat sempit, untuk mengeluarkan alat-alat pertambangan dari kawasan tambang saja tidak cukup,” ujar Nur Alam di Kendari, Selasa (10/4).
Pelarangan ekspor mineral dalam bentuk bijih (ore), termasuk nikel yang menjadi bahan tambang andalan Sultra, tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2012. Pelarangan itu akan diberlakukan 3 bulan setelah diterbitkannya aturan 6 Februari lalu, yakni 6 Mei 2012.
Aturan tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah bahan mineral nasional. Ekspor bahan mineral hanya bisa dilakukan dalam wujud olahan, baik jadi atau setengah jadi.
Menurut rencana, Rabu ini Kementerian ESDM menggelar rapat bersama para gubernur daerah penghasil tambang, termasuk Sultra, guna membahas penerapan peraturan tersebut.
Kepala Dinas ESDM Sultra Hakku Wahab mengatakan, pihaknya menampung aspirasi dari berbagai perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Sultra. Terdapat beberapa masukan terkait penerapan Permen ESDM Nomor 7/2012 tersebut. Di antaranya, penundaan pemberlakuan aturan dengan catatan royalti tambang ke pemerintah dinaikkan.
Dari 30 izin usaha pertambangan nikel yang telah berproduksi di Sultra, hampir seluruhnya hanya mengekspor bijih nikel. Hanya PT Aneka Tambang yang memiliki pabrik pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di Kolaka. Data Dinas ESDM Sultra menunjukkan ekspor bijih nikel pada 2011 mencapai 11 juta metrik ton dengan pemasukan total bagi pemprov dari sektor pertambangan mencapai Rp 98,7 miliar. Adapun deposit bijih nikel Sultra diperkirakan 97,4 miliar metrik ton. (ENG)