Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laut dan Karang bak Saudara "Dikatutuang"

Kompas.com - 20/04/2012, 08:36 WIB

Oleh Mohamad Final Daeng dan A Ponco Anggoro

Hubungan orang Bajo dengan laut bukan hanya semata kisah tentang eksploitasi manusia terhadap alam. Mereka juga turut menjaga hidup laut yang menghidupi mereka. Dengan tuba dikatutuang, ikatan ”persaudaraan” di antara keduanya makin kukuh. Kearifan lokal itu merupakan bagian dari upaya menjaga jantung segitiga terumbu karang dunia.

Demikian pula yang dilakukan masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dalam memperlakukan sepenggal perairan di sekitar permukiman mereka. ”Tuba dikatutuang artinya karang disayang,” tutur Kepala Desa Sama Bahari Suhaele, saat ditemui di Sama Bahari, Senin (26/3/2012). Tuba dikatutuang merupakan konsep konservasi laut ala masyarakat Bajo Sama Bahari untuk memelihara kelestarian ekosistem terumbu karang.

Perairan yang dimaksud itu, antara lain, membentang 100 meter x 400 meter di pesisir Pulau Hoga, pulau kecil di utara permukiman terapung Sama Bahari. Di sanalah ”rumah ikan” berada. Terumbu karang beragam bentuk menutupi lantai laut berkedalaman 10-30 meter. Sebagian terlihat dari permukaan dengan bermacam ikan hias berenang-renang di antaranya.

Wilayah tuba dikatutuang ditetapkan secara bersama hasil rembukan masyarakat pada tahun 2000. Penetapan dilakukan setelah didahului prosesi adat sangal. Prosesi ini merupakan ritual warisan leluhur Bajo yang salah satu tujuannya menjaga kelestarian ikan.

Salah satu prosesi melibatkan pelepasan berbagai jenis induk ikan ke laut. Selain itu, prosesi ini juga kerap dilakukan sebelum musim ”panen” ikan sebagai ritual tolak bala nelayan Bajo.

”Penetapan tuba dikatutuang itu muncul dari masyarakat setelah ada hasil penelitian mahasiswa Inggris di Wakatobi,” kata Suhaele. Penelitian itu menjelaskan kian menurunnya populasi ikan di perairan Kaledupa yang membuat nelayan Bajo harus mencari ikan lebih lama dan lebih jauh.

Ini juga tak lepas dari penangkapan ikan secara berlebih, ditambah lagi praktik pembiusan dan penggunaan bom oleh sebagian warga dalam menangkap ikan yang merusak terumbu karang.

Saksi sosial

Dengan dasar tuba dikatutuang, masyarakat Bajo di Sama Bahari yang semula menjadikan lokasi tersebut tempat utama mencari ikan harus pindah ke lokasi lain. Penangkapan ikan jenis apa pun dilarang di areal tersebut.

Dibutuhkan waktu dua tahun bagi Suhaele dan tokoh masyarakat lain di Sama Bahari untuk menyadarkan masyarakat akan kondisi yang ada sebelum akhirnya tuba dikatutuang ditetapkan. Penetapan itu hanya satu capaian, capaian lainnya adalah sebagian warga yang dulunya mengebom dan membius ikan berhenti.

Sanksi sosial bagi pelanggar berupa pengucilan dari kegiatan-kegiatan masyarakat di Sama Bahari. ”Hingga areal itu akhirnya diambil alih oleh Taman Nasional Wakatobi sebagai zona pariwisata, tidak ada warga yang dijatuhi sanksi sosial. Semuanya mematuhi ketentuan tersebut,” kata Suhaele.

Berselang enam tahun setelah penetapan tuba dikatutuang di Sama Bahari, hal serupa diterapkan oleh nelayan-nelayan di Pulau Tomia, Wakatobi. Karang Roma, Mari Mabok, dan Onimae, yang berada tidak jauh dari Tomia dan kaya akan terumbu karangnya, mereka tetapkan menjadi bank ikan sehingga siapa pun dilarang menangkap ikan di lokasi-lokasi tersebut.

”Sanksi bagi masyarakat yang melanggar sebatas sanksi sosial. Meski begitu, tidak ada masyarakat yang melanggar kesepakatan yang telah mereka buat sendiri itu,” ujar Manajer Proyek Program Bersama The Nature Conservancy dan World Wide Fund for Nature (WWF) di Wakatobi, Sugyanta.

Upaya yang dilakukan oleh komunitas nelayan di Tomia itu membuat mereka meraih penghargaan Equator Prize dari Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2010.

Tadi (50), salah seorang nelayan Sama Bahari yang dulu pernah menangkap ikan dengan bom, mengatakan, hasil menangkap ikan dengan bom memang lebih banyak daripada dengan panah, jaring, atau memancing seperti yang biasanya nelayan Bajo lakukan. Dengan bom, hasil ikan yang diperoleh bisa sampai 100 kilogram atau sepuluh kali lipat dari biasanya.

”Namun besarnya hasil yang diperoleh tidak akan ada artinya karena hanya sesaat. Setelah terumbu karang rusak, kami justru tidak bisa cari ikan lagi,” ujarnya.

Kini, Tadi bertahan menangkap ikan dengan menggunakan panah seperti yang diajarkan orangtuanya meski dengan begitu pendapatannya hanya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 sehari. ”Uang yang diperoleh hari ini cukup untuk hari ini,” tambahnya.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Taman Nasional Wakatobi, La Ode Ahyar T Mufti, mengatakan, meningkatnya kesadaran masyarakat Bajo untuk ikut menjaga keanekaragaman hayati di Wakatobi mulai terjadi sejak sepuluh tahun terakhir. Sejak itu pula, kasus penangkapan ikan dengan bom dan pembiusan menurun drastis.

”Antara tahun 1990 dan 2000, bom ikan bisa terdengar berulang kali di Wakatobi, seperti ada perang di sini. Bahkan perahu patroli kami pernah dilempar bom ikan. Namun, kondisi sepuluh tahun terakhir sudah berubah,” ujar Ahyar.

Penyadaran

Warga Bajo sekarang banyak bekerja sama dengan aparat keamanan dengan melaporkan saat ada nelayan yang menggunakan bom atau membius. ”Sekarang ini penangkapan ikan dengan bom dan pembiusan hanya dilakukan oleh nelayan dari luar Wakatobi,” tambahnya.

Hal itu tak lepas dari gencarnya upaya sosialisasi yang dilakukan Taman Nasional Wakatobi bersama WWF dengan dibantu tokoh masyarakat Bajo.

”Mereka yang menangkap ikan dengan bom atau membius itu karena ketidaktahuan akan dampak negatif yang ditimbulkan. Setelah disosialisasikan secara intensif, masyarakat bisa memahami dan tidak lagi melakukan praktik tersebut,” kata Sugyanta.

Penyadaran masyarakat ini didukung pula penegakan hukum dan patroli intensif yang dilakukan petugas taman nasional sehingga mencegah praktik ilegal itu terulang.

Ketua Kerukunan Keluarga Bajo Indonesia Abdul Manan mengatakan, masyarakat Bajo menganut filosofi bahwa laut adalah saudara mereka. Dengan filosofi yang diwariskan leluhur itu, tidaklah sulit untuk mengajak warga Bajo menjaga dan menyayangi ”saudara” mereka tersebut.

Masyarakat Bajo juga mengenal beberapa penyakit yang dianggap berhubungan dengan alam gaib laut. Metode pengobatannya dilakukan dengan ritual khusus di laut.

”Ada sakit yang disebut tuli, salah satu cirinya seperti sendawa yang tertahan. Itu tandanya ’kawan’ di laut meminta perhatian,” kata Gafur, seorang warga.

Kegiatan melaut dibagi dalam empat kategori, yakni palilibu (melaut jarak dekat dalam sehari), pongka (melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu), sakai (melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan), dan lama (melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya melintasi negeri asing).

Pranata tersebut membuat masyarakat Bajo sulit dipisahkan dengan laut. Pada tahun 1970-an, Pemerintah Orde Baru berupaya memukimkan warga Bajo di daratan di wilayah Kendari. Namun, program itu gagal karena warga merasa tidak cocok dan kembali lagi ke laut.

Hidup mereka selamanya lekat dengan laut. Situasi dipertahankan sepanjang bulu burung gagak masih berwarna hitam....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Spend Smart
Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Earn Smart
Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Spend Smart
Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Whats New
Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Whats New
Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Whats New
BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com