Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpacu Memburu Waktu

Kompas.com - 01/06/2012, 03:22 WIB

Lapisan peraturan ini kelihatannya berhasil meredam nafsu ekspor barang mineral. Buktinya, hingga 24 Mei 2012, Kementerian Perdagangan baru mengeluarkan lima surat keputusan tentang eksportir terdaftar. Padahal, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada Juli 2011 pernah menyebutkan ada 8.000 penambang dan pemilik IUP, sebanyak 6.000 di antaranya tumpang tindih.

”Barang tambang kita itu tidak banyak. Masa dibiarkan dikuras habis begitu saja. Batubara yang masih menumpuk di Indonesia tidak sampai 5 persen dari cadangan dunia, apalagi barang tambang mineral,” ujar Hatta di Jakarta, 4 Mei lalu.

Disedot China

Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) dalam laporan tahun 2010 menyebutkan kecenderungan China mengimpor barang tambang dari Indonesia dan menyimpan cadangan mineralnya dengan menekan ekspor. Dalam situs USGS disebutkan, pada tahun 2010, China mengimpor bauksit hanya dari Indonesia dan Australia. Sumbangan Indonesia mencapai 76,6 persen dari keseluruhan impor tersebut.

China juga mengimpor nikel mentah dari Indonesia dan Filipina, yakni 25 juta ton pada tahun 2010 dan 16,4 juta ton tahun 2009. Impor dari kedua negara ini setara 90 persen dari total impor nikel China.

Statistik memperlihatkan, dari total nilai ekspor Indonesia tahun 2010, yakni sebesar 157,7 miliar dollar AS; sebanyak 16,9 persen di antaranya ekspor barang tambang mineral. Sasarannya adalah China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan AS.

Aturan ekspor yang diterapkan pemerintah kini membuat pengusaha tiarap. Pada 8 Mei 2012 di Jakarta, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengungkapkan, sebagian besar perusahaan tambang utama Indonesia, terutama nikel di Sulawesi dan Bauksit di Kepulauan Riau, telah menghentikan operasi pertambangannya. Alasannya, mereka tidak bisa lagi mengekspor hasil tambang sehingga hilanglah sumber penghasilan mereka.

”Pembiaran pada masalah ini hanya akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran di daerah tambang,” ujar Ketua Umum Apemindo Poltak Sitanggang, di Jakarta.

Pengusaha pemilik IUP di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Budiman Damanik, menyebutkan, biaya operasional tambang setiap bulan mencapai Rp 7 miliar. Penertiban ekspor mengejutkannya karena selama ini dia tidak pernah alpa melunasi kewajiban keuangan kepada negara, antara lain membayar royalti, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26, dan PPh Karyawan Pasal 21. ”Dengan biaya operasional yang tinggi itu, terpaksa kami menghentikan operasi tambang karena tidak adanya penghasilan dari ekspor,” ujar Budiman di Tanjung Pinang, pada pekan kedua Mei.

Regulasi pemerintah soal mineral ini juga meresahkan Mursih (38) dan Tony Madaroni (40), Ketua Rukun Tetangga 02 dan 03, Kelurahan Air Raja, Tanjung Pinang. Mereka khawatir akan terhentinya bantuan dana jaminan pemberdayaan masyarakat senilai Rp 300.000 dan Rp 400.000 per keluarga dari pengusaha tambang. Mereka juga takut kekurangan beras karena perusahaan tambang akan menghentikan pembagian beras 25 kilogram per bulan per keluarga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com