Praktik industri berbasis lahan dan intervensi pada hutan mungkin dijalankan dengan kerusakan lingkungan minimal. Sebagian kecil korporasi melakukannya. Di sisi lain, pendekatan terhadap kesejahteraan sosial dan keanekaragaman hayati tertinggal dibandingkan pendekatan meminimalisasi dampak lingkungan.
Pada lokakarya ”We Care, We Share” A Gallery of Good Practices di Jakarta, Selasa (5/6), yang diadakan Satuan Tugas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+), ada empat praktik ramah lingkungan dan berkelanjutan yang dibicarakan. Mulai dari cara penebangan kayu dalam konteks praktik dalam izin berbentuk hak pengusahaan hutan hingga soal jejak karbon rendah.
Pada Hari Lingkungan Sedunia itu, menurut Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto, tiba saatnya ”semua bekerja bersama karena kalau tidak, kita akan masuk era kegelapan”. ”Kita tahu lingkungan semakin menderita,” ujarnya.
Pada praktik penebangan, misalnya, pebisnis kehutanan, Nana Suparna, mengenalkan program pengurangan dampak dari penebangan (reduced impact logging/RIL). Praktik RIL butuh inovasi dan pemetaan lengkap: pemetaan lokasi kayu yang akan ditebang, kontur tanah, dan jalan yang harus dilalui untuk membawa kayu. ”Kalau dibuat sembarangan jalurnya, dampak lingkungan lebih besar,” ujarnya.
Soal penghitungan karbon juga dibahas perusahaan yang berupaya menghitung stok karbon tinggi meski metodologinya masih dipertanyakan beberapa penanggap. Penghitungan
Pendekatan untuk tidak melepaskan unsur kimia karbon (C) semakin populer sebagai cara mengendalikan pemanasan global, yang diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Salah satunya adalah CO
Praktik bisnis sumber daya hutan banyak mengubah rupa atau tata ekosistem. Supaya ekosistem berkelanjutan, dibutuhkan kepedulian, inovasi, dan komitmen amat tinggi. Persoalannya, berapa persen perusahaan yang mengambil sumber daya alam dari hutan yang mempraktikkannya?
Pemerintah sebagai regulator dan eksekutor hukum menjadi penanggung jawab utama bila korporasi tak patuh pada regulasi. Sementara pemangku kepentingan lain, investor, dan masyarakat harus memiliki komitmen yang sama. Persoalannya, masyarakat setempat biasanya menjadi korban pertama ketika pengusaha merambah hutan. Dua hari lalu tiga orang ditembak karena konflik lahan yang melibatkan investor perambah hutan. Praktik keberlanjutan merupakan wajah lain dari praktik keadilan.(BRIGITTA ISWORO LAKSMI)