Hal itu dikatakan Judianto Simanjuntak dari tim advokasi Pulihkan Indonesia, Rabu (10/10), di Jakarta.
Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta tertanggal 13 September 2012 memperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur yang menolak gugatan itu.
Harahap berharap, dalam kasasi, hukum lebih berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir Teluk Senunu, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah nelayan yang mengalami penurunan pendapatan akibat perairan tercemar tailing (limbah pertambangan) merupakan fakta di lapangan.
Menurut Harahap, dalam proses perizinan pembuangan limbah pertambangan ke laut terdapat kecacatan. Ia menunjukkan, ada perbedaan lokasi titik koordinat pemasangan pipa pembuangan limbah antara dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin Menteri Lingkungan Hidup, dan dokumen analisis dampak lingkungan (andal). Perbedaan titik mencapai 60 meter.
”Kepastian lokasi pemasangan pipa sangat berpengaruh ke mana lumpur tailing terdistribusi atau terendapkan,” kata Ahmad Marthin Hadiwinata, Manajer Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.
Pembuangan tailing dilakukan hingga kedalaman 4.000 meter. Hal ini dinilai aman karena terdapat lapisan termoklin dalam laut yang membuat lumpur
Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, menyayangkan majelis hakim PTTUN mengesampingkan bukti Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Dalam dokumen itu, Pemerintah Indonesia menargetkan pelarangan pembuangan limbah ke laut sejak 2004.
Berdasarkan dokumen itu, pemerintah bisa menolak permohonan perpanjangan izin pembuangan tailing ke laut. ”Newmont memiliki tambang di negara lain yang berlokasi di dekat laut, seperti Australia dan Selandia Baru. Namun, hanya di Indonesia, perusahaan ini membuang limbah ke laut,” ujarnya.