Besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu persoalan yang mencuat dalam rapat kerja antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Senin (14/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis itu dihadiri Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Salsiah Alisjahbana, dan Gubernur BI Darmin Nasution.
”Di tengah optimisme prospek perekonomian tahun 2013, tantangan utama adalah bagaimana meminimalisasi risiko-risiko yang dapat meningkatkan kerentanan atas kelangsungan pertumbuhan ekonomi, terutama yang bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan,” ujar Darmin.
Risiko yang dimaksud Darmin terutama merujuk pada konsumsi BBM yang terus meningkat, sementara produksi minyak nasional merosot. Kombinasi kedua faktor yang bertolak-belakang ini menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan kian besar.
Meningkatnya konsumsi BBM, ujar Darmin, akan menggelembungkan beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ini dapat mendorong persepsi negatif tentang kesinambungan fiskal sehingga akhirnya melemahkan rupiah.
”Kami memandang tingginya konsumsi BBM serta besarnya subsidi BBM menjadi permasalahan sentral yang harus diatasi dengan segera,” kata Darmin.
Darmin menambahkan, pengurangan konsumsi BBM atau pengurangan subsidi BBM akan menurunkan beban anggaran pemerintah. Hal itu juga melonggarkan tekanan pada neraca pembayaran secara signifikan.
Agus Martowardojo menyatakan, pemerintah terus mengkaji solusi atas permasalahan BBM bersubsidi. Pendekatannya tidak saja pada sisi fiskal, tetapi juga menyangkut kondisi kemiskinan dan sosial.
”Kalau kondisi (terkait) yang lain-lain tak suportif tentu kita harus naikkan harga BBM bersubsidi. Kita pertimbangan bahwa tahun 2014 adalah tahun yang tidak sederhana karena itu adalah tahun pemilu. Belum tentu di tahun 2014 kita masih bisa melakukan penyesuaian BBM bersubsidi,” kata Agus,