Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermain Api dengan BBM

Kompas.com - 16/02/2013, 02:25 WIB

Itu baru hitung-hitungan dari neraca migas saja. Bila defisit perdagangan migas digabungkan dengan surplus neraca perdagangan non-migas, Indonesia masih tetap saja tekor. Mulai Oktober 2012, neraca perdagangan Indonesia defisit. Artinya, keseluruhan ekspor Indonesia (migas ataupun non-migas) lebih kecil daripada keseluruhan impor.

Pada November 2012, misalnya, neraca perdagangan non- migas kita hanya surplus 900 juta dollar AS, sedangkan dari neraca migas defisit 1,3 miliar dollar. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 400 juta dollar AS di November 2012 saja.

Sebenarnya ekonom tidak terlalu khawatir dengan defisit neraca perdagangan atau defisit neraca transaksi berjalan (yang terakhir ini merupakan penjumlahan dari neraca perdagangan barang dan jasa serta pendapatan). Ekonom berkeyakinan, selama impor digunakan untuk peningkatan stok modal nasional, ke depan kapasitas produksi nasional akan meningkat dan defisit akan bersifat temporer.

Yang merisaukan dari defisit neraca perdagangan Indonesia justru yang menyebabkan defisit ini, yaitu impor minyak. Minyak menempati 22 persen nilai impor kita (senilai 39 miliar dollar AS), yang sebagian dipakai untuk BBM bersubsidi dan listrik bersubsidi. Akibatnya jelas: beban subsidi energi meningkat dan defisit anggaran membesar. Karena itu, terjadilah defisit ganda: defisit fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan bersamaan.

Defisit bukanlah sekadar angka di atas kertas. Defisit harus dibiayai. Dalam konteks defisit fiskal (diperkirakan Rp 153 triliun di APBN 2013), pemerintah harus mencari utang untuk menambal defisit—bila tak mau mengurangi subsidi BBM. Padahal, saat ini jumlah bunga dan cicilan utang pemerintah sudah lebih besar daripada jumlah utang baru yang masuk.

Kondisi fiskal yang tidak sehat ini diperburuk dengan defisit neraca transaksi berjalan, di mana Indonesia harus melego cadangan devisanya untuk membayar defisit yang terjadi. Sampai kuartal ketiga 2012, defisit neraca transaksi berjalan ini sudah mencapai 15 miliar dollar AS. Artinya, bila tak ada aliran modal masuk sama sekali, cadangan devisa harus dilego sejumlah itu.

Hasil akhir dari dua defisit di atas adalah mulai rapuhnya kepercayaan pasar pada ekonomi Indonesia, khususnya rupiah. Pasar dapat melihat nilai rupiah saat ini ditopang arus masuk investasi portofolio. Namun, investasi jenis ini rentan akan spekulasi dan risiko penarikan mendadak. Pasar akan melihat bahwa rupiah tak akan berkesinambungan bila kebijakan harga BBM tetap seperti sekarang. Dengan ekspektasi ini, pasar akan cenderung memegang dollar AS dan enggan melepaskannya.

Akibatnya, suplai dollar makin cekak, sementara permintaan dollar (akibat impor minyak dan lainnya) jalan terus. Jadilah cadangan devisa sebagai penyelamat. Namun, pasar tahu bahwa cadangan devisa kita terbatas. Bila sudah demikian, semua bergantung pada pemerintah, apakah mau mengubah ekspektasi pasar atau ”didisiplinkan” oleh pasar seperti tahun 1997.

Pemerintah dan DPR hendaknya jangan bermain-main dengan subsidi BBM. Pasar akan selalu membaca tanda-tanda, melihat kecenderungan, dan mencari kesempatan. Lewat logika menghindari kerugian atau mengambil keuntungan, pasar akan (bersifat) menghukum negara-negara yang secara persisten melakukan kebijakan yang keliru—tanpa pandang bulu, apakah Amerika, Eropa, atau Asia.

Cukup sudah wacana pembatasan BBM atau konversi BBM ke bahan bakar gas dibahas. Pemerintah dan DPR hendaknya sadar bahwa menaikkan harga adalah sebuah keniscayaan. Semua kembali kepada elite politik: apakah akan tetap bermain api atau segera memadamkan api, sebelum semuanya terlambat.

Denni Puspa Purbasari Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com