Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelapa Sawit, Harga Hidup di Tanah Harapan

Kompas.com - 17/04/2013, 03:10 WIB

Syahnan Rangkuti

Riau punya masa lalu gemilang sekaligus menggiriskan. Pada tahun 1940-an ditemukan sumber minyak bumi yang sudah menghasilkan produksi di atas 2 miliar barrel, tetapi hanya menetes sedikit buat rakyat Riau. Sekarang adalah era kelapa sawit yang mampu menghidupi dan menggerakkan ekonomi rakyat Riau sampai ke pelosok-pelosok.

”Pada tahun 1989, sewaktu saya pertama kali bekerja membuka kebun kelapa sawit di sini, tidak ada rumah gedung. Seluruhnya rumah kayu, berdinding papan dan beratap daun rumbia. Sebagian besar rumah masih berlantai tanah. Untuk menuju ibu kota Kecamatan Langgam, satu-satunya jalan hanya lewat air. Dari Pekanbaru kami menempuh perjalanan selama hampir tiga jam melewati Sungai Kampar dengan perahu. Tujuh desa di kecamatan ini terisolasi. Tak ada penduduk yang memiliki sepeda motor, apalagi mobil,” ujar Zul Amri (48), mantan Asisten Manajer PT Mitra Unggul Pusaka—perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta pertama di bawah grup Asian Agri di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, mengenang masa lalunya saat membuka lahan kebun kelapa sawit 24 tahun lalu.

Ucapan Zul yang menemani Kompas mengitari Langgam, akhir Maret 2013 ini, diakui oleh Ipung Rizal (40), warga Desa Langkan, Kecamatan Langgam. Ipung mengatakan, waktu itu kondisi warga desanya, yang merupakan desa transmigrasi umum, sangat memprihatinkan. Menurut Ipung, tidak ada yang dapat diandalkan di desanya.

”Tanaman di ladang kami tidak ada harganya. Kalau tidak habis terjual di pasar, akan kami buang. Lingkungan kami tidak aman. Jangankan benda berharga, beras saja dicuri. Sisa nasi di periuk bisa hilang kalau rumah tidak dijaga” kenang Ipung.

Zul, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, itu menambahkan, kehadiran PT MUP mulai mengubah nasib warga Langgam. Ribuan warga dari tujuh desa mulai memiliki pilihan bekerja di perusahaan itu. Saat jalan lintas timur Sumatera, Pekanbaru-Jambi dibuka tahun 1995, Zul bersama masyarakat gotong royong membuka jalan darat dari Langgam menuju jalan lintas timur itu sepanjang 23 kilometer.

”Dengan terbukanya jalan menuju lintas timur, perjalanan ke Pekanbaru sudah bisa ditempuh selama satu jam. Perjalanan air masih ada, tetapi hanya untuk menyeberangi Sungai Kampar saja, memakai ponton,” tambah Zul.

Waktu itu, kata Zul, jumlah penduduk satu kecamatan hanya berkisar 4.000-5.000 orang. Penduduk terbesar bermukim di Desa Langkan, kampung transmigrasi sebanyak 300 keluarga. Pada Januari 2013, menurut Kepala Seksi Umum Kecamatan Langgam Muhammad Husin, jumlah penduduk Kecamatan Langgam sudah mencapai 23.452 orang. Penduduk terbesar masih berada di Desa Langkan sebanyak 3.620 orang. Kecamatan Langgam pun sudah memecah dan memekarkan diri. Pangkalan Kerinci, salah satu dusun di Desa Langgam, kini sudah berkembang menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.

Kondisi Desa Langkan kini sudah jauh berbeda. Jalan desa itu beraspal mulus. Kebanyakan rumah penduduk berdinding batu dan beratap seng. Hampir setiap rumah memiliki kendaraan sepeda motor. Mobil pun bukan barang langka lagi.

”Kami tidak pernah menduga desa ini dapat berkembang seperti sekarang,” ungkap S Manulang (45), pedagang asal Medan yang kemudian bermukim di Langkan sejak awal 1990.

Sejarah Desa Langkan hanyalah salah satu dari ribuan desa di Riau yang tumbuh dari masuknya kelapa sawit pada akhir 1970-an ke Riau. Kehadiran sawit di Riau diawali dari ekspansi PT Perkebunan II, PTP IV, dan PTP V yang kesulitan mencari lahan pengembangan luas di Sumatera Utara. Tiga perusahaan itu kemudian bersatu membentuk PT Perkebunan Nasional V pada 11 Maret 1996 yang berpusat di Pekanbaru.

Ketika pemerintah menggelindingkan program perkebunan plasma pada awal 1980-an, PTP II, IV, dan V memulainya dengan membuka sejumlah areal kebun plasma untuk rakyat. Kebanyakan peserta plasma merupakan pendatang yang berada dalam satu paket dengan program transmigrasi asal Pulau Jawa, Bali, dan sebagian kecil Sumatera.

Menurut Anggara Butar-Butar, Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Riau, pada pertengahan 1980-an, perkembangan sawit Riau semakin besar tatkala Presiden Soeharto meminta beberapa konglomerat Indonesia membuka lahan sawit pola inti plasma dengan berbagai kemudahan.

Meski sawit sudah dikenal luas, penduduk lokal tetap lebih suka menanam karet yang harganya lebih bagus dibandingkan dengan sawit. Nyaris tidak ada penduduk lokal yang ingin berkebun kelapa sawit. Menurut Horman W Adha, Asisten Kepala PTPN V Kebun Sei Tapung, Kampar, penduduk enggan menanam sawit karena harganya masih sangat murah. ”Saya masih ingat, pada awal 1990-an harga tandan buah segar sawit masih berkisar Rp 200 sampai Rp 500 per kilogram” kata Adha.

Menurut Tommy FM Manungkalit, Sekretaris Riau Madani, lembaga pemerhati lingkungan Riau, pembukaan areal hutan alam menjadi perkebunan akasia/ekaliptus sebagai bahan baku kertas belakangan punya andil besar mendorong laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, terutama yang ilegal.

Pada 1997 yang dikenal sebagai krisis ekonomi besar Indonesia itu membuat sebuah anomali. Sawit yang sebelumnya dipandang sebagai komoditas yang sulit menguntungkan dalam skala kecil mendadak menjadi usaha yang memiliki prospek luar biasa. Harga TBS yang semula hanya berkisar Rp 500 per kilogram naik sampai di atas Rp 2.000 per per kg.

Kondisi itu menyebabkan banyak warga Riau yang memiliki kebun sawit terperangah seakan mendapat durian runtuh. Hasil sawit yang dulunya hanya untuk biaya makan sehari-hari ternyata mampu memberi kekayaan yang dulunya hanya dianggap mimpi. Tiba-tiba saja di ratusan pelosok desa muncul orang- orang kaya baru.

Sawit pun menjadi primadona. Yang sudah punya lahan mulai memperluas areal. Yang belum punya mulai menanam. Ribuan pendatang pun mencoba peruntungan baru di tanah harapan. Tiba-tiba saja harga tanah kebun pun melambung. Di bawah tahun 1997, harga 1 hektar kebun sawit menghasilkan masih dapat ditebus dengan harga Rp 7 juta-Rp 10 juta. Namun, setelah booming itu, harga kebun itu sudah mampu mencapai Rp 70 juta sampai Rp 100 juta.

Semua orang akhirnya berlomba menanam sawit. Pada tahun 1994 luasan kelapa sawit Riau masih berkisar 403.000 hektar dan berkembang pelan sampai 550.000 hektar pada 1996. Namun, tahun 2000 terjadi penambahan areal sawit secara besar-besaran, sampai menembus angka di atas 1 juta hektar (1,022 juta hektar). Fantastis, hanya dalam tempo empat tahun terjadi penambahan areal sebesar 470.000 hektar.

Sepuluh tahun kemudian, di tahun 2010, laju pertambahan luas sawit Riau seakan tidak terbendung, mencapai angka 2,1 juta hektar (data Dinas Perkebunan Riau).

Pembukaan lahan secara besar-besaran tidak tertahankan. Hutan yang tidak dijaga menjadi mangsa empuk perambahan. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) memperkirakan, angka deforestasi di Riau mencapai 188.000 hektar setiap tahun.

Apakah kerusakan hutan itu sebanding dengan peningkatan taraf hidup rakyat di Riau? Buat pencinta lingkungan, kondisi itu mungkin sebagai kerusakan lingkungan dahsyat. Namun, buat 1,5 juta rakyat Riau yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kelapa sawit, itu adalah harga untuk sebuah kehidupan yang lebih menjanjikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com