Para pekerja memulai aksi di kantor pusat PT Timah di Jalan Sudirman, Kota Pangkal Pinang. Dari sana, mereka menggunakan 55 bus menuju kantor Gubernur dan DPRD Babel, lalu ke Markas Polda Babel yang berjarak sekitar 7 kilometer dari kantor pusat PT Timah. Mereka membentangkan sejumlah poster yang isinya, antara lain, penghentian penjarahan timah Babel, audit asal-usul pasir timah untuk batangan timah ekspor, serta penghentian ekspor ilegal.
Mereka mendesak aparat bertindak tegas. Sebab, balok timah selundupan diduga menggunakan cadangan PT Timah secara ilegal. Cadangan diambil dengan cara menambang di lokasi penambangan milik PT Timah. ”Negara kehilangan triliunan rupiah akibat pencurian dan penyelundupan itu,” kata koordinator pengunjuk rasa, Rendy Kurniawan.
Audit asal-usul pasir timah mendesak dilakukan sebab banyak pabrik peleburan di Babel diduga menampung pasir timah curian. Hasil curian dilebur menjadi batang timah dengan kemurnian 99 persen, lalu diekspor ke sejumlah negara. Di negara tujuan, timah dari peleburan swasta itu dimurnikan lagi sebelum diekspor dengan harga lebih mahal. ”Pencurian dan penyelundupan bentuk penjarahan kekayaan Babel. Pelakunya memperkaya bangsa asing di negara lain,” ujar Rendy.
Direktur Utama PT Timah Sukrisno membenarkan dugaan pencurian itu. Audit perusahaan menunjukkan 138.000 ton cadangan hilang tahun 2008-2012 akibat penambangan ilegal. Dengan harga 23.000 dollar AS per ton, nilai pencurian mencapai 3,174 miliar dollar AS atau Rp 28,5 triliun dengan kurs Rp 9.000 per dollar AS. ”Kami juga pernah menangkap pencuri dengan 400 kilogram pasir timah dari lahan PT Timah,” ujarnya.
Ironisnya, di saat yang sama PT Timah kesulitan mendapat pasir timah. Meski punya izin, BUMN pertambangan itu kesulitan menambang di lahan sendiri karena berbagai alasan. ”Kami mau menambang di lahan sendiri susah sekali. Orang lain menambang di lahan kami malah terkesan dibiarkan,” tuturnya.
Kesulitan pasokan, lanjut Sukrisno, paling terasa pada triwulan pertama 2013. Produksi bulanan di unit peleburan Muntok, Bangka Barat, anjlok dari 2.500 ton jadi 1.500 ton. ”Wajar pekerja prihatin dan berunjuk rasa. Memang sekarang sudah mulai dibenahi dan mudah-mudahan produksi bisa meningkat lagi,” ujarnya.
Penurunan produksi itu diperburuk penurunan harga sejak akhir 2012. Dalam dua tahun terakhir, harga merosot dari rata-rata 27.000 dollar AS menjadi 21.000 dollar AS per ton. Buruknya kinerja emiten BEI berkode TINS ini tampak dari laba 2012 hanya Rp 431 miliar. Sementara 2011 terkumpul laba Rp 896 miliar. Padahal, BUMN itu punya aset Rp 6,1 triliun.