Klarifikasi itu dilakukan guna menepis anggapan bahwa Pemerintah Singapura tak mampu mengendalikan harga. Dalam penjelasannya yang dirilis hari ini, Rabu (5/3/2014), Menteri Keuangan Singapura Tharman Shanmugaratnam menyatakan survei itu sebenarnya ditujukan untuk biaya hidup ekspatriat.
"Kami tidak mengatakan survei tersebut salah atau menyesatkan. Namun yang ingin kami jelaskan, survei itu hanya dilakukan terhadap barang-barang yang dibutuhkan para ekspatriat, dan tidak mencerminkan biaya hidup warga asli Singapura maupun warga asli di mana survei itu dilakukan," ujar Tharman saat berbicara di depan parlemen.
Kemarin, EIU merilis daftar kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Posisi pertama ditempati Singapura, dan posisi itu menggeser Tokyo yang sebelumnya di posisi teratas. Mahalnya biaya hidup di negara tetangga ini salah satunya dipicu oleh harga kendaraan yang sangat tinggi serta yang lainnya, seperti nilai tukar dollar Singapura yang menguat.
Survei dilakukan dengan mencatat harga atas 160 item produk barang dan jasa, termasuk makanan, toiletries, pakaian serta pembantu rumah tangga. Survei tersebut dilakukan untuk membantu berbagai perusahaan global mengkalkulasi belanja para eksekutifnya yang bekerja di luar negeri.
Tharman menyatakan survei itu dinilai agak "keterlaluan" lantaran memasukkan beberapa hal yang tak umum, seperti keju impor, steak daging sapi khas Perancis (filet mignon), jas hujan merek Burberry, harga kursi termahal dalam sebuah pertunjukan teater, serta jamuan makan malam untuk empat orang di restoran kelas atas.
"EIU mencoba untuk memasukkan semua itu sebagai biaya hidup ekspatriat, dan mungkin itu untuk ekspatriat kelas atas. Dan itu benar-benar berbeda dengan apa yang dibutuhkan penduduk Singapura pada umumnya," lanjut Tharman.
Dia juga menegaskan salah satu poin yang dicatat dalam survei EIU, bahwa biaya hidup ekspatriat disebabkan oleh menguatnya nilai tukar dollar Singapura.
"Yang terlebih penting bagi SIngapura adalah pertumbuhan ekonomi masyarakat kelas bawah dan menengah lebih cepat ketimbang kenaikan harga barang," ujar Tharman.
Sementara itu, Jon Copestake, editor EIU kepada AFP memahami pernyataan Tharman. Namun dia mengatakan item-item yang dinilai mahal tersebut juga merupakan barang konsumsi sehari-hari warga Singapura.
"Memang, survei dilakukan dalam range yang luas, mulai roti hingga mobil mewah. Namun faktanya, banyak barang yang masuk dalam survei kami, sebenarnya adalah barang-barang yang dijual eceran tiap harinya, seperti buah segar, sayuran, daging, ikan, beras, dan sebagainya," ujar Copestake.
"Ekspatriat telah menjadi salah satu bagian terbesar dalam masyarakat Singapura, dan karena itu survei kami sebenarnya cukup mencerminkan kondisi yang ada di sana," lanjutnya.
Pendapatan per kapita masyarakat Singapura lebih dari 51.000 dollar AS atau sekitar Rp 586 juta per tahun, dan kesenjangan pendapatan di negara tersebut cukup lebar.