Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak Kita Bukanlah Burung Dara yang Sayapnya Diikat

Kompas.com - 04/10/2014, 10:00 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

Self driving

Bepergian ke tempat baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu belum tentu membuat kita tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan) sama sekali. Dan anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan untuk men-drive diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan menemukan "pintu keluar" dari kesulitan sehari-hari.

Namun tradisi kita ternyata jauh dari harapan itu. Kita lebih banyak membentuk mereka menjadi passengers ketimbang drivers. Persis seperti penumpang angkutan kota yang boleh mengantuk, bahkan tertidur, tak perlu tahu arah jalan, merawat kendaraan, berinisiatif pindah jalur. Semua sudah ada yang urus, tahu-tahu sudah sampai di tempat tujuan.

Anak-anak kita sesungguhnya adalah rajawali, bukan burung dara. Tetapi secara psikologis dan tradisi, kita telah mengikat (meng-'kodi') sayapnya, sehingga mereka tak bisa terbang tinggi. Mereka hanya menjadi  "burung dara" yang  hanya bisa melompat ke atap gedung, lalu turun lagi ke bawah tidak jauh-jauh dari rumah kita.

Kita "kodi" sayapnya dengan berbagai belenggu, apakah itu proteksi dan kenikmatan yang berlebihan, keputusan yang tidak pernah kita ijinkan untuk diambil mereka sendiri, hanya untuk memotong rambut atau membeli sepatu.

Banyak masalah mereka kita ambil alih cepat-cepat sebelum mereka bergulat mengatasinya sendiri dalam kecemasan, dalam ketakberdayaan.

Juga  dogma, ancaman, ketakberdayaan dari pengalaman kita, serta kehadiran kita yang harus ada kemanapun mereka pergi.

Cerita mereka bisa anda baca dalam buku aplikasi Self Driving (terbit dua minggu lalu) yang kemarin diluncurkan mahasiswa saya di UI.  Judulnya 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Isinya suka duka dan curhat mereka melepas kodi-kodi itu agar menjadi rajawali yang hebat dalam program one person-one nation, kesasar di mancanegara.

Buku itu jadi sebagai akibat provokasi yang saya lakukan pada mereka, dengan fakta bahwa para tenaga kerja wanita kita di luar negri ternyata lebih mampu menangani tantangan dan ketidakpastian di luar negri ketimbang para calon sarjana yang hanya duduk manis di bangku kuliah.

Saya katakan, era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya akan dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah.

Jadi hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu kemudian, membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya boleh dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30 mahasiswa berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan penduduknya mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar, negeri yang dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan mungkin saja makin tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya  Bangladesh.

Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi: terasing sekaligus tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.

Sebab, kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar menghadapi tantangan yang sebenarnya. Kini, semua persiapan harus diurus sendiri dalam waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau travel, juga dilarang menerima bantuan keluarga.

Paspor, penginapan, rencana perjalanan, apa yang mau dilihat, biaya dan sebagainya. Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi kehidupan, bukan soal produk atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak dimulai di pintu keberangkatan bandara, melainkan di hari pertama kuliah dengan saya.

Sambil belajar teori saya ajak mereka melihat sendiri dunia, dan hadapi sendiri segala masalah. Makin kesasar makin bagus. Lama-lama "kodian" itu lepas, sayap mereka membuka, tanpa disadari mereka mulai bisa terbang jauh.

Satu hal yang dapat dipastikan adalah; mereka akan mulai mengaktifkan otaknya. Dari situ secara tidak sadar mereka sudah memulai praktik manajemen yang sebenarnya. Selama ini buku-buku sudah pasti menjelaskan segala teknik mengatasi masalah dengan amat jelas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com