Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Currency War", Siapa yang Jadi Pemenang?

Kompas.com - 03/09/2015, 16:48 WIB

Pertama, mata uang yang melemah menyebabkan ekspor semakin murah dan menarik bagi pembeli internasional.

Kedua, pelemahan mata uang membuat barang impor menjadi mahal dan tidak lagi menarik di pasar domestik. Hal ini bisa menyebabkan mereka memilih untuk menggunakan produk-produk dalam negeri.

Kedua hal tersebut dapat meningkatkan perdagangan, mengerek permintaan barang domestik, dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang harus melihat keuntungan yang akan mereka dapatkan dalam perdagangan global," jelas Andrew Karolyi, Cornell professor and emerging market expert.

Karolyi lantas menyontohkan Brazil, di mana baru-baru ini ekonomi Brazil jatuh ke jurang resesi. Mata uang mereka, real, sudah keok 27 persen pada tahun ini. Namun, pada kuartal dua, berdasarkan data Capital Economics, tingkat ekspor Brazil naik 7 persen.

"Memang, hal itu tidak bisa mengesampingkan seluruh faktor negatif yang ada, tapi ada secercah harapan pada ekonomi Brazil," kata Shearing.

Waspada dengan perang dagang
Seorang ahli Wall Street Mohamed A El Erian, mendeskripsikan devaluasi yuan China saat ini merupakan upaya untuk "mencuri" pertumbuhan ekonomi dari negara lain.

Menurut pria yang juga menjabat sebagai chief economic adviser Allianz ini, strategi China tersebut merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi negara-negara berbasis ekspor yang berkompetisi langsung dengan China.

Vietnam juga sudah mendevaluasi mata uangnya, dong, untuk ketiga kalinya tahun ini setelah China.

Keputusan untuk melemahkan nilai tukar itu bisa memicu potensi currency war alias perang mata uang di mana pemerintah global akan berulang-ulang mendevaluasi maya uang mereka sebagai upaya untuk bisa bersaing di sektor perdagangan. Jika berkelanjutan, hal ini akan menjadi sangat berbahaya.

Harga barang impor melejit
Yang harus kita perhatikan saat ini adalah apakah mata uang negara-negara tersebut semakin tak berdaya.

Sebab, jika itu terjadi, masyarakat biasa yang paling merasakan dampaknya. Apalagi negara yang sangat bergantung pada barang-barang impor untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pasalnya, harga barang-barang yang berbasis dollar secara otomatis akan naik.

Venezuela menjadi salah satu contohnya. Pada tahun lalu, nilai tukar satu dollar AS setara dengan 82 bolivars. Bandingkan dengan saat ini yang nilai tukarnya mencapai 698 bolivars. Nilai tukar ini berdasarkan data dolartoday.com, situs yang menghimpun nilai tukar tidak resmi.

Perekonomian Venezuela terpukul dan barang-barang dasar seperti popok bayi sulit didapat. Pada awal tahun ini, pemerintah Trinidad dan Tobago menawarkan tisu kepada Venezuela untuk kemudian dibarter dengan minyak.

Keoknya mata uang juga membuat perusahaan dan negara yang terkena dampak sulit membayar utang-utang mereka yang berbasis dollar AS. Sebab, nilai utang mereka akan kian membengkak.

Meski banyak hambatan, sejumlah negara akan menghadapi persimpangan-persimpangan ke depan. Namun, para analis menilai, jika mereka memilih arah yang tepat, mereka bisa membalikkan perekonomian menjadi lebih baik. (Barratut Taqiyyah)

baca juga: Ekonom: "Currency War" Antara China dan AS Bakal Tekan Ekonomi RI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com