Oleh Ryan Filbert
@RyanFilbert
KOMPAS.com - Bertepatan dengan buku kesembilan saya yang telah terbit berjudul “Bangun Kekayaan Investasi Properti”, ada beberapa pembaca menanyakan dan mengomentari pendapat saya yang dinilai tidak umum pada buku tersebut, yakni pertanyaan: “Siapa yang mengajarkan memiliki properti adalah investasi?”
Di tengah hiruk pikuk kehidupan ini, muncullah sebuah pernyataan untuk berinvestasi pada properti. Salah membeli sekalipun, harganya pasti akan naik.
Unsur "pemaaf" dalam properti sangat tinggi, tidak seperti saham. Jika membeli saham yang salah, maka lihat saja perusahaan tambang besar dengan harga Rp 8.000, kini menjadi Rp 50 per lembar.
Sebenarnya dalam satu kalimat singkat, penjelasan saya mengenai investasi properti adalah: “Tidak semua kegiatan memiliki properti adalah investasi uang.”
Ya, bisa jadi setiap tindakan kita adalah sebuah investasi. Saya hadir dalam sebuah rapat lebih awal, maka saya sedang berinvestasi waktu.
Saya kuliah pada sebuah jurusan, maka saya sedang berinvestasi pada pendidikan atau untuk otak saya.
Namun, konotasi bahwa berinvestasi pada properti berujung pada sebuah investasi keuntungan berupa uang justru bisa menjerumuskan kita.
Mengapa dapat dikatakan begitu? Sederhana saja, bila kita membeli properti berbentuk rumah dan kita tinggali rumah tersebut, kita mengeluarkan uang dan terus mengeluarkan uang untuknya: biaya pembelian rumah, renovasi rumah, mengisi rumah dengan perabotan, listrik, air, telepon, Pajak Bumi dan Bangunan, dan masih banyak lagi.
Apakah Anda untung dari segi keuangan? Saya rasa tidak.
Tapi saya setuju bahwa dengan memiliki rumah, kita memiliki sebuah aset dan ketenangan. Tapi jelas bukan selalu uang yang menjadi keuntungannya.
Kesan yang salah inilah justru yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba membeli properti apapun itu bentuknya mulai dari rumah, ruko, apartemen, hotel, tanah, bahkan hingga kuburan.
Pembelian tersebut dengan hanya satu pedoman: bila dibeli lebih awal maka harganya akan naik dan akan untung.
Inilah sebabnya mengapa harga properti menjadi suatu nilai yang tidak terjangkau dari hari ke hari. Mulai terjadi hal yang tidak rasional dari sebuah properti.
Bayangkan, sebuah rumah belum selesai dibangun, bahkan masih berbentuk gundukan tanah, sudah diperjualbelikan berkali-kali.
Ini adalah sebuah transaksi menjual mimpi! Apakah Anda sependapat?
Belum lagi, hal unik lainnya adalah mengenai bangunan tinggi seperti apartemen, rumah yang disusun ke atas. Untuk apa hal ini terjadi? Tentunya karena jumlah tanah tidak mencukupi untuk memuat jumlah penduduk, sehingga dibangunlah apartemen.
Di manakah biasanya daerah padat penduduk? Jawabannya sederhana, di pusat bisnis dan keramaian. Yang menarik adalah justru kini dibangunlah apartemen bukan di tengah kota, tapi di pinggiran kota yang masih banyak tanah kosong.
Untuk apa? Karena harga rumah atau landed property-nya sudah tidak mampu dijangkau banyak orang atau mencapai sebuah kejenuhan.
Akibat apa? Karena alasan di paragraf sebelumya.
Sama dengan pasar modal, sebuah properti juga memiliki sebuah nilai yang wajar, dipandang dan ditinjau dari banyak aspek.
Sebuah kenaikan yang naik, naik, dan naik hanya disebabkan oleh nafsu membeli akibat katakata “properti adalah investasi uang yang akan untung”, akan mendatangkan sebuah aksi spekulasi secara berjamaah. Apakah Anda juga sudah merasakannya?
Sesuatu yang naik secara tidak wajar, tentunya akan terjadi sebuah masalah di kemudian hari.
Kembali lagi, seorang investor perlu memahami hal tersebut sebelum berubah menjadi seorang spekulan.
Salam investasi untuk Indonesia.
Di tahun 2015 Ryan Filbert menerbitkan 2 judul buku terbarunya berjudul Passive Income Strategy dan Gold Trading Revolution. Ryan Filbert juga sering memberikan edukasi dan seminar baik secara independen maupun bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).