Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antarina Sukses Membesarkan Highscope

Kompas.com - 04/11/2015, 06:07 WIB
KOMPAS.com - Ingin berkontribusi mencerdaskan anak bangsa, Antarina Sulaiman menghadirkan sistem pendidikan berbasis kreativitas yakni HighScope di Indonesia sejak tahun 1996. Saat ini HighScope sudah berkembang menjadi 10 cabang di berbagai daerah.  

Peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya rasanya pas untuk menggambarkan perjalanan usaha Antarina Sulaiman sebagai pendiri sekaligus pemegang lisensi sekolah HighScope di Indonesia. Sebab, Rina, panggilan akrabnya, adalah cucu tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Merek sekolah asal Amerika ini menyediakan fasilitas kelompok bermain (playgroup) dan fasilitas belajar hingga jenjang SMA.

Ketertarikannya pada dunia pendidikan memang sudah mengalir pada darah wanita ini. Alasannya menghadirkan HighScope di Indonesia lantaran dia ingin menularkan sistem pendidikan yang memfokuskan pada pengembangan kreativitas.

Siswa dididik agar lebih kreatif, tidak hanya menghafalkan yang selama ini diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia.

Dia telah mengenal konsep pendidikan HighScope ketika mengambil gelar master di Amerika. Setelah kembali dari Amerika pada tahun 1996, Rina mulai membuka HighScope Indonesia dengan awalnya membeli lisensi HighScope dari Singapura.

Usaha ini hasil kerjasama dirinya dengan empat orang temannya. Waktu itu, dia membeli lisensi senilai Rp 500 juta hasil patungan dengan teman-temannya tersebut.

Awalnya lokasinya berada di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun seiring berjalannya waktu, luas lokasi usaha yang sudah tidak memungkinkan, dia akhirnya memindahkan lokasi HighScope Indonesia ke TB Simatupang. Kini HighScope berkembang menjadi 10 cabang di Rasuna Said, Kembangan, Bintaro, Pluit, Kelapa Gading, Bogor, Bandung, Palembang, Medan, dan Bali.

Ketika mulai berdiri, hanya ada delapan murid dan enam guru yang mendaftar untuk tingkat prasekolah. “Sebagian besar dari murid-murid ini merupakan anak-anak dari teman-teman dan anak saya sendiri,” tutur perempuan berumur 45 tahun ini.

Seiring berjalannya waktu, HighScope Indonesia makin berkembang dengan memiliki sekitar 1.300 siswa dari jenjang early childhood educational program usia 18 bulan hingga lima tahun, SD, SMP hingga SMA. Dengan mengusung konsep laboratorium kehidupan, sekolah ini mengajarkan menghargai perbedaan, serta memberi pemahaman dan praktik langsung.

“Jadi tidak hanya teori yang didapat si anak, tapi juga bagaimana anak langsung mempraktikkannya di kehidupan nyata,” tutur Rina.

Biaya masuk sekolah untuk early childhood educational program (usia 1,5 tahun hingga 6 tahun) senilai Rp 25 juta dengan dan biaya sekolah per tiga bulan Rp 6,5 juta.

Sementara untuk biaya masuk SD sebesar Rp 54,5 juta dan biaya sekolah Rp 4,5 juta per bulan.

Biaya masuk untuk jenjang SMP seharga Rp 47,5 juta dan membayar Rp 4,8 juta per bulan.

Adapun untuk biaya masuk jenjang SMA seharga Rp 50 juta dan biaya sekolah Rp 5,3 juta per bulan.

Fasilitas sekolah yang tersedia sama seperti sekolah-sekolah pada umumnya, seperti toilet, kantin, sarana bermain dan olahraga, perpustakaan, laboratorium, ruang komputer, serta kelas-kelas yang dapat dipilih siswa untuk belajar.   

Kehilangan separuh murid
Menghadirkan HighScope di Indonesia bagi Antarina cukup memberinya tantangan. Dia harus berjuang mendapatkan lisensi langsung dari AS. Krisis moneter di 1998 sempat membuat ciut lantaran jumlah murid tergerus.

Ia menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi, ketika dirinya mengejar gelar master di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1994. Suatu ketika, dia mendapat tugas dari salah satu dosennya untuk membuat rumus sendiri.

Saat itu dia merasa kesulitan, karena selama ini mendapatkan pendidikan dengan sistem hafalan di Indonesia. Ini tidak mendorong orang menjadi kreatif.

Nah, dari situlah, Rina menyadari bahwa sistem pendidikan telah berubah. Ia pun berpikir untuk bisa mengubah sistem pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya mengandalkan hafalan dan teori.

Setelah kembali dari AS, ia pun mulai merintis untuk membuka HighScope di Indonesia.  Namun, menghadirkan sistem pendidikan berbasis kreativitas yang ditawarkan HighScope di Indonesia harus melalui jalan yang cukup panjang.

Pada tahun 1996, dia mendapat kesempatan untuk membangun HighScope untuk jenjang early child di Pondok Indah dengan membayar pelatihan guru dari HighScope di Singapura.

Dengan modal Rp 500 juta hasil patungan dengan keempat temannya, berdirilah cabang HighScope pertama di Jakarta dengan delapan murid dan enam guru. Rina harus membayar mahal pelatihan guru sebesar 3.500 dollar AS ke Singapura. Pada awal merintis sekolah ini, dia mematok biaya masuk sekolah 600 dollar AS per murid.

Dalam waktu enam bulan, Rina sudah mendapatkan tambahan murid sebanyak 100 orang. Tahun berikutnya, pendaftaran murid ke sekolahnya makin banyak.

Tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa tidak nyaman lantaran tidak ada dukungan konsep yang mumpuni dari pihak Highscope Singapura. Karena itulah, di tahun 1997, dia mencoba untuk meminta lisensi langsung ke Highscope AS. Namun, jawaban dari pusat di AS tak kunjung diterima Rina.  Padahal di tahun yang sama, ia harus membuka jenjang sekolah yang lebih tinggi, tidak melulu di tahap pra sekolah.

Dia berulang kali bolak-balik ke AS untuk mendapat kepastian lisensi. Namun malang tidak dapat ditolak, tahun 1998, terjadi krisis moneter di Indonesia dan Rina pun terpaksa menahan ambisinya untuk mendapatkan lisensi. Pada saat itu, sempat terjadi pengurangan murid sebanyak 50 persen yang sebagian besar berasal dari warga negara asing.

Angin segar berhembus ketika tahun 1999, dia mendapat informasi kontrak kerjasama HighScope pusat di AS dengan Singapura akan berakhir. Rina pun mengambil kesempatan dengan kembali ke AS untuk berjuang mendapatkan lisensi. "Tepat di tahun 2000, lisensi pun diterima, dan saya bisa membuka jenjang SD," ujarnya.

Namun kesulitan tidak berhenti di situ. Dengan menambah jenjang sekolah dasar, otomatis kebutuhan ruangan kelas menjadi lebih besar. Sementara, gedung sewaan di Pondok Indah sudah kurang memadai untuk jumlah murid lebih banyak. Karena itu, dia sempat kelimpungan untuk mencari gedung sekolah baru yang lebih luas. 

Workshop ke orang tua
Meyakinkan masyarakat pada kurikulum HighScope memang tidak mudah. Karena itu, Antarina Sulaiman harus gencar memberi workshop pada orang tua murid. Mengubah gaya pengajaran guru dan gaya belajar anak pun jadi tantangan. Ke depan, dia bercita-cita membuka universitas.   

Mencari lahan baru yang lebih luas untuk mengembangkan HighScope Indonesia menjadi tantangan selanjutnya bagi Antarina Sulaiman. Setelah mencari-cari lokasi yang sesuai, dia tertarik dengan lahan di daerah TB Simatupang, di selatan Jakarta. Pada tahun 2001, dia pun mendapatkan tanah sewa di daerah itu seluas 1,2 hektare (ha).

Sempat mencari-cari pinjaman hingga ke World Bank untuk mendirikan gedung di atas lahan tersebut, namun usahanya tidak berhasil. Rina pun harus rela merogoh kocek sendiri untuk membangun gedung sekolah.

Setahun pembangunan, gedung sekolah di TB Simatupang pun sudah jadi. Dia lantas memindahkan seluruh siswanya ke lokasi baru tersebut. Jumlah murid di Highscope pun semakin banyak. Ia bilang, cara yang digunakan bukanlah dengan menggunakan iklan di beberapa media, melainkan berjualan langsung dengan menjelaskan kepada orangtua hingga menggelar workshop mengenai kurikulum di HighScope. “Dari work of mouth, cabang-cabang seperti di Bali, Palembang, Bogor, Palembang, dan tempat lainnya pun dapat terealisasi dibangun,” tutur dia.

Saat ini, sudah ada sekitar 1.300 lebih murid dan 300 pengajar yang tersebar di berbagai cabang HighScope. Rina menuturkan, setiap tahun, HighScope Indonesia mengundang beberapa ahli pendidikan terbaik dari Amerika atau ahli berbagai bidang seperti psikolog senior, ahli matematika, dan lainnya untuk memberi pengajaran pada anak.

Dengan memasukkan konsep pembelajaran, yaitu laboratorium kehidupan, Rina menanamkan konsep pada anak-anak tentang menghargai perbedaan. “Cara ini agar mencegah adanya senioritas dan mengurangi tindakan bully,” sebutnya.

Dengan konsep ini, sistem pendidikan di kelas pun berbeda. Salah satunya adalah multi age class. Dalam satu kelas tidak ada pembeda usia atau kemampuan anak. Di sekolah, ini juga pendidikan tidak hanya teori tapi juga praktik.

Cara dan konsep ini memang tak mudah, apalagi sekolah yang ada di Indonesia pada umumnya banyak memberi metode teori. Sehingga beberapa kali, Rina mengatakan menghadapi beberapa kendala dan masalah dalam penerapan kurikulum tersebut.

Rina bilang, ada dua masalah yang dihadapi dalam mendirikan Highscope Indonesia. Pertama, kurangnya kepercayaan orang tua dan masyarakat akan penerapan sistem pendidikan yang berbeda. Kedua, mengubah gaya belajar guru dan orang tua yang sebagai corong pengetahuan anak.

Ke depan, Rina menargetkan dapat membuka sekolah HighScope di beberapa kota-kota besar lain di Jawa dan juga membuka pendidikan tingkat universitas.  (Jane Aprilyani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Tutuka Ariadji Lepas Jabatan Dirjen Migas, Siapa Penggantinya?

Whats New
Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Panen Jagung bersama Mentan di Sumbawa, Jokowi Tekankan Pentingnya Keseimbangan Harga

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Suku Bunga Acuan BI Naik, Peritel Khawatir Bunga Pinjaman Bank Naik

Whats New
Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Laba Bank-bank Kuartal I 2024 Tumbuh Mini, Ekonom Beberkan Penyebabnya

Whats New
Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Bank Sentral AS Sebut Kenaikan Suku Bunga Tak Dalam Waktu Dekat

Whats New
Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Panduan Cara Tarik Tunai Tanpa Kartu ATM BRI Bermodal BRImo

Spend Smart
PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

PMI Manufaktur April 2024 Turun Jadi 52,9 Poin, Menperin: Ada Libur 10 Hari...

Whats New
Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Siapa Hendry Lie, Pendiri Sriwijaya Air yang Jadi Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Whats New
Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Inflasi Lebaran 2024 Terendah dalam 3 Tahun, Ini Penyebabnya

Whats New
Transformasi Digital, BRI Raih Dua 'Award' dalam BSEM MRI 2024

Transformasi Digital, BRI Raih Dua "Award" dalam BSEM MRI 2024

Whats New
Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Emiten Buah Segar BUAH Targetkan Pendapatan Rp 2 Triliun Tahun Ini

Whats New
SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

SYL Gunakan Anggaran Kementan untuk Pribadi, Stafsus Sri Mulyani: Tanggung Jawab Masing-masing Kementerian

Whats New
Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Saat Sri Mulyani Sampai Turun Tangan Urusi Kasus Alat Tunanetra SLB yang Tertahan Bea Cukai

Whats New
Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Emiten Manufaktur Kosmetik VICI Catat Pertumbuhan Laba Bersih 20 Persen Menjadi Rp 47,1 Miliar pada Kuartal I-2024

Whats New
Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Jalankan Fungsi Perlindungan Masyarakat, Bea Cukai Banten Berantas Peredaran Barang Ilegal

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com