Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paradigma Pendidikan dan Kompetensi SDM

Kompas.com - 02/05/2016, 09:35 WIB
Estu Suryowati

Penulis

KOMPAS.com – Dalam lawatannya ke Eropa beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hanya menginginkan satu kerja sama yang dilakukan, yakni pelatihan (training).

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, hal itu sangat beralasan, sebab hanya dengan pelatihan inilah kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan di dunia kerja bisa dibangun, di luar skema pendidikan formal.

“Kami selalu mimpi link and match antara pendidikan dan kebutuhan kerja. Tapi kenyataannya jauh. Apalagi (hanya membangun kompetensi) dari pendidikan formal,” ucap Darmin di rumah dinas Widya Chandra, Minggu (1/5/2016).

Darmin bilang, sebenarnya pada masa lalu ada pendidikan formal yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Di level pendidikan menengah pertama misalnya, dahulu banyak sekali dibangun Sekolah Teknik Negeri (STN) dan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP).

Di sekolah-sekolah ini, pelajar dilatih berbagai kompetensi yang memang benar-benar dibutuhkan dunia kerja, misalnya teknik pertukangan dan pembukuan sederhana. Namun dalam perkembangannya, kata Darmin, sekolah-sekolah ini ditiadakan.

“Jadi sebenarnya kita sendiri yang merusak sistem itu. Sekarang untuk memulai itu, kita perlu kerja keras,” katanya.

Padahal semakin maju peradaban, makin dibutuhkan kompetensi untuk memenangkan persaingan. Tentu saja, pemerintah tidak diam diri menerima SDM yang ada. Ada balai-balai latihan kerja yang dibangun baik di tingkat pusat, maupun provinsi/kabupaten.

Lebih daripada itu, ada juga lembaga sertifikasi nasional bernama Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) serta kementerian teknis yang berperan serta meningkatkan kompetensi SDM, yakni Kementerian Tenaga Kerja.

Tapi apakah itu semua cukup untuk meningkatkan kompetensi SDM?

“Kami belum punya mekanisme yang baik di bidang itu (mencipta SDM kompeten). Kami punya lembaganya, kami punya Kemenaker, kami punya Kementerian Pendidikan, kami punya BNSP, tapi harusnya mereka bisa melahirkan standar kompetensi,” ujar Darmin.

Sayangnya, Darmin mengakui  memang belum ada link and match antara pendidikan dan output yang dibutuhkan dunia kerja. Padahal, pemerintah sudah sejak beberapa tahun terakhir terbilang baik dalam politik anggaran untuk pendidikan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 ini saja pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara yang sebesar Rp 2095,7 triliun.

“Tapi itu masuknya ke Kementerian Pendidikan, Perguruan Tinggi, sama Kementerian Agama. Di sini (untuk Kemenaker) enggak masuk dia. (Untuk) Yang ngurusin training ini enggak ada (alokasinya). Enggak tahu lah. Ini soal paradigma. Kalau di paradigma enggak ada (pelatihan), enggak kepikir APBN dialokasikan ke situ,” sebut Darmin.

Realokasi Anggaran Pendidikan

Darmin menuturkan, oleh karenanya, pemerintah akan melakukan realokasi anggaran pendidikan 20 persen tersebut dalam APBN Perubahan 2016 nanti.

Sebagian dari anggaran pendidikan itu, kata Darmin, akan diperuntukkan program percepatan peningkatan kompetensi SDM, baik melalui pelatihan vokasi maupun pendidikan vokasi.

“Itu nanti kita mesti bicarakan. ‘Eh, ternyata tidak ada ini (anggaran untuk pelatihan)’. Ini bukan anggaran inisiatif baru. Mau enggak mau, realokasi dari yang 20 persen (anggaran pendidikan),” kata Darmin.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menambahkan, strategi percepatan peningkatan kompetensi akan didorong melalui pelathian vokasi. Skemanya ada beberapa macam, mulai dari menggunakan BLK-BLK milik pemerintah pusat dan daerah, maupun skema kerjasama swasta melalui in-house training.

Adapun kompetensi yang akan dikembangkan saat ini masih dalam tahap pembahasan di tingkat rapat koordinasi di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Yang jelas, kata dia, ada beberapa pertimbangan seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di mana saat ini ada delapan profesi dari 12 sektor yang dibuka, serta fokus dari program-program nasional, seperti infrastruktur dan pariwisata.

“Itu diantara pertimbangan yang kite perlukan dalam rangka menentukan prioritas sektor, profesi, dan pengembangan kompetensi,” ujar Hanif di Kantor Pusat PT Pos Indonesia (Persero), Jakarta, Minggu.

Sementara itu terkait anggaran yang dibutuhkan, Hanif menuturkan hal tersebut tergantung pada benchmark yang digunakan. Rata-rata negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) mengalokasikan anggaran untuk pelatihan hingga 0,6 persen dari Produk Domestik Bruto.

“Nah kita ini masih di bawah 0,1 persen dari PDB. Kalau itu bisa dinaikkan menjadi 2 persen atau 2,5 persen dari PDB, ya itu ketemunya bisa Rp 25 triliun sampai Rp 30 triliun setahun. Itu kalau skemanya agak progresif,” terang Hanif.

Tetapi, jika pemerintah memilih skema moderat, perhitungan Hanif kebutuhan anggaran yang diperlukan untuk pelatihan sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun per tahun.

Di luar APBN, masih ada skema kerjasama dengan swasta, di mana pemerintah akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan in-house training ataupun co-manage BLK milik pemerintah.

Kompas TV Arti Dunia Pendidikan bagi Amalia Fajrina
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com