“Selembar ijazah sarjana itu hanyalah selembar kertas. Nilai intrinsiknya tak jauh berbeda dengan selembar tisu toilet. Kalau tidak disertai dengan skill pemegangnya, maka nilai ijazah itu tak jauh berbeda dengan selembar tisu toilet.”
Ada banyak karyawan perusahaan lulusan SMA yang kuliah lagi. Kuliah malam, kuliah akhir pekan. Kebanyakan kuliah di perguruan tinggi swasta. Ada perguruan tinggi yang bagus, tapi tidak sedikit pula yang abal-abal.
Kalau ditanya, kenapa mau repot-repot kuliah, jawabannya adalah untuk mendapatkan ijazah atau kualifikasi sarjana.
Di antara yang kuliah itu sebenarnya banyak yang sudah mumpuni, memiliki skill dan keahlian setara, bahkan melebihi sarjana.
Sayangnya, mereka berada dalam suatu sistem diskriminatif, di mana ada hukum yang menetapkan hanya sarjana yang boleh jadi manajer. Jadi mereka harus kuliah demi memenuhi tuntutan sistem tadi.
Nah, ada pula yang latah. Mereka mengira ijazah sarjana adalah kertas magis yang bisa mengubah segalanya. Mereka tidak punya skill memadai. Kuliah asal-asalan di perguruan tinggi abal-abal, berharap dengan gelar sarjana nanti kariernya akan melesat.
Bagi saya, sistem yang menetapkan syarat kesarjanaan untuk jabatan tertentu adalah sistem yang konyol, khususnya di dunia bisnis.
Kita sudah sering menemukan pengusaha sukses dengan pendidikan setara SMA. Tapi itu kan pengusaha, bukan karyawan. Lho, kalau pengusaha kenapa? Apakah pengusaha itu bukan seorang manajer, dan tidak memerlukan skill seperti manajer?
Seorang pengusaha sukses tentu memiliki keterampilan dan keahlian yang melebihi kemampuan seorang manajer. Artinya, orang bisa saja meraih semua itu tanpa harus jadi sarjana.
Mereka lebih suka menjadi mesin yang menilai dokumen. Maka, mereka menciptakan sistem yang bisa bekerja sendiri laksana mesin, untuk menilai kualitas manusia melalui setumpuk dokumen.
Pola pikir ini dipelihara untuk memudahkan kerja orang-orang HRD. Maka, pintu ditutup bagi lulusan SMA, tak peduli seberapa hebat pun mereka.
Sebaliknya, ini adalah demotivasi bagi karyawan lulusan SMA. Sejak masuk kerja, mereka sudah mengalami pembunuhan semangat, bahwa karier mereka akan mentok di suatu tempat yang tidak tinggi. HRD dalam hal ini adalah Human Resources Demotivator.
Konsep saya soal HRD berbasis pada pengembangan kemampuan manusia secara nyata. Karena itu, penilaiannya juga harus didasarkan atas kemampuan nyata, bukan sekadar melalui setumpuk dokumen. Bila telah terjadi pembuktian nyata di lapangan, tidak diperlukan lagi dukumen untuk membuktikannya.
Apa yang mesti dilakukan oleh seorang lulusan SMA dalam berkarier agar ia bisa menjadi manajer? Ia harus memiliki kualifikasi seorang manajer. Ia harus matang dalam skill teknis di bidang yang ia tekuni. Kemudian, ia juga harus membangun kemampuan mengelola atau managerial skill.
Seorang karyawan baru lulusan SMA/SMK harus memulai pembangunan portofolionya dengan membangun skill teknis. Misalnya, seorang karyawan di bagian perawatan (maintenance). Ia harus rakus dalam menguasai semua seluk-beluk setiap mesin secara detail. Ia harus mampu tampil sebagai pemecah setiap masalah (problem solver).
Jadilah orang dengan tagline, ”I am the solution for every trouble you face.” Bila itu bisa ia lakukan, ia akan dengan mudah naik ke posisi leader. Tahap ini mungkin akan memerlukan 4-5 tahun.
Di posisi leader, seseorang sudah bisa mengasah kemampuan managerial. Ia sekarang seorang pemimpin, punya 5-8 bawahan. Tugas tim ini adalah merawat mesin-mesin produksi dalam jumlah tertentu, memastikan semua berjalan dengan baik untuk mencapai produksi yang efisien.
Di posisi ini, ia harus mampu bermetamorfosis dari seorang tukang menjadi pengelola. Ia tidak lagi perlu turun menangani masalah setiap mesin, tetapi lebih fokus pada kegiatan memimpin orang untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Ia harus membangun skill kepemimpinan dan komunikasi, mendidik orang agar mampu menyelesaikan setiap masalah, sebagaimana ia dulu ketika masih menjadi seorang mekanik.
Selanjutnya, ia harus mampu menjalankan sebuah tim yang mampu mengantisipasi masalah. Tagline-nya kini adalah ”We solve your problems before they occur.”
Satu hal lagi, ia juga sudah harus belajar mengelola anggaran. Bila ia berhasil membangun tim seperti ini, jabatan supervisor bukan hal yang sulit untuk diraih.
Tahap selanjutnya adalah memperbesar skala saja. Skala jumlah mesin yang bisa ditangani, jumlah staf yang bisa dipimpin, jenis masalah yang bisa dipecahkan, serta jumlah anggaran yang bisa dikelola. Kalau scale up ini berjalan lancar, maka posisi manajer sudah di depan mata.
Saya percaya ada banyak lulusan SMA yang punya potensi untuk melakukan ini semua. Kuncinya adalah beri mereka kepercayaan. Jangan bunuh potensi mereka dengan menetapkan syarat yang tidak perlu.
Dari sisi para lulusan SMA, mari bangun kepercayaan diri. Yakinlah bahwa Anda bisa. Robohkan tembok keangkuhan para sarjana itu!
Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.