Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, Sri Mulyani, dan Ikat Pinggang

Kompas.com - 05/09/2016, 06:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Total belanja kementerian/lembaga yang dipangkas mencapai Rp 64,71 triliun. Anggaran Kementerian Pertanian misalnya dipangkas Rp 5,9 triliun, Kementerian Kesehatan dipangkas Rp 5,5 triliun, Kemendikbud sebesar Rp 3,9 triliun, Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 3,06 triliun, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dipangkas Rp 2,08 triliun.

Adapun dana transfer ke daerah dan dana desa dipangkas sekitar Rp 72,9 triliun. Sumber pemangkasan antara lain penghematan alamiah sebesar Rp 36,8 triliun, penundaan penyaluran dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp 19,4 triliun, dan dana bagi hasil sebesar Rp 16,7 triliun.

Pemangkasan menyasar pada sejumlah kegiatan yang dinilai kurang strategis, seperti honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, peralatan kantor, dan pembangunan gedung kantor.

Pilihan pemerintah untuk memprioritaskan proyek infrastruktur ketimbang kegiatan yang kurang strategis tentu saja bukanlah kesalahan.

Bagaimanapun, Indonesia memang sangat membutuhkan infrastuktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Persoalannya, strategi ini akan semakin menyakitkan masyarakat, membuat rakyat terus mengetatkan ikat pinggang.

Pasalnya, buah dari pembangunan infrastruktur baru akan dinikmati dalam jangka menengah panjang, sementara anggaran-anggaran, seperti perjalanan dinas, paket meeting, biaya rapat, dan iklan merupakan belanja yang bisa langsung memengaruhi konsumsi dan daya beli masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2016 memang lebih baik, mencapai 5,18 persen secara tahunan atau year on year (YOY). Pada kuartal I 2016, pertumbuhan ekonomi YOY hanya 4,9 persen.

Pertumbuhan tesebut didorong oleh belanja pemerintah yang PDB-nya tumbuh 14 persen. Namun, karena banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, belanja pemerintah tersebut tidak bisa mendongkrak daya beli masyarakat.

PDB konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2016 hanya tumbuh 7 persen, di bawah pertumbuhan normalnya yang 10–12 persen.

Padahal, kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi adalah meningkatkan konsumsi masyarakat. Sebab, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 55 persen.

Di sisi lain, seiring kondisi ekonomi global yang masih lemah, investasi dan ekspor belum bisa diharapkan untuk mendongkrak perekonomian.

Jatuhnya daya beli masyarakat juga tecermin dari rendahnya inflasi inti. Normalnya, inflasi inti Indonesia 4–5 persen secara tahunan. Namun, per Agustus 2016, inflasi inti hanya 3,32 persen, terendah selama era reformasi.

Pemangkasan anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 137,61 triliun yang dilakukan saat ini tentu saja akan makin merontokkan daya beli masyarakat. Terlebih lagi, anggaran yang dipotong merupakan anggaran yang bisa secara instan memengaruhi daya beli masyarakat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com