Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi PP Telekomunikasi Upaya Liberalisasi Industri Telekomunikasi

Kompas.com - 01/11/2016, 22:11 WIB
Aprillia Ika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi revisi PP 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dinilai menjurus pada pemaksaan. Aturan baru ini dinilai sebagai upaya liberalisasi sektor telekomunikasi Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Ahmad Hanafi Rais Wakil Ketua Komisi 1 DPR RI yang membawahi permasalahan telekomunikasi, melalui keterangannya, Selasa (1/11/2016).

Dia mengatakan, sebenarnya bukan kali ini saja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan kebijakkan yang terbilang liberal.

Dia menilai sejumlah langkah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) sudah bertentangan dengan kepentingan nasional.

Misal, memaksakan penurunan biaya interkoneksi, mengizinkan Google Baloon untuk dapat beroperasi di Indonesia dan adanya pernyataan bahwa tidak perlu membangun data center di Indonesia.

“Semangat ultra liberal dalam penyusunan Revisi PP 52 dan 53 ini membuat Komisi I DPR memiliki kepentingan untuk mengawasinya agar sektor telekomunikasi ini berpihak kepada kepentingan masyarakat Indonesia,” terang Hanafi.

Hanafi menegaskan bahwa munculnya wacana penurunan biaya interkoneksi, revisi PP yang mengatur berbagi jaringan, hanya untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan BUMN telekomunikasi asing yang beroperasi di Indonesia.

Ini dibuktikan dengan disebutkan dalam revisi PP 52, operator telekomunikasi asing dimungkinkan untuk ‘menumpang’ jaringan pada operator yang sudah ada.

Operator yang sudah ada diwajibkan memberikan akses kepada operator telekomunikasi asing tersebut.

Tentu saja draf revisi PP 52 dan 53 ini bertentangan dengan pernyataan Menkominfo Rudiantara pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR dan Menkominfo.

Dalam RDP tersebut Rudiantara memastikan ‘numpang’ pada jaringan operator lain itu tidak wajib. Namun kenyataannya beradasarkan draf revisi PP yang diterima Komisi I, tidak demikian.

Menurut Hanafi, dalam revisi PP 53 juga diatur mekanisme pengambilalihan frekuensi. Dalam Revisi PP 53 disebutkan pengambilalihan frekuensi atas persetujuan menteri.

Jika ini dibiarkan, Hanafi menilai pemerintah melakukan hal yang inkonstitusional.

Sementara itu, Arie Sujito, Dosen Departemen Sosiologi Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) menilai revisi PP ini merupakan pertarungannya antara BUMN telekomunikasi Indonesia dengan BUMN telekomunikasi asal Qatar dan Malaysia.

"Mereka tak sadar berapa besar dampak yang ditimbulkan investor asing tersebut masuk terhadap eksistensi serta keberlanjutan industri strategis nasional,” terang Arie.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com