Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negosiasi Pajak, Google Malah Minta Tawar-menawar Layaknya di Pasar

Kompas.com - 20/12/2016, 16:30 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak buka suara tentang proses negosiasi pajak dengan perusahaan raksasa internet asal Amerika Serikat, Google, yang menemui jalan buntu.

Awalnya, Ditjen Pajak menggunakan pendekatan serupa kasus pajak Google di Inggris dan India, yaitu tax settlement. Google dipersilakan menghitung dan mengajukan angka pajak yang harus dibayar.

"Kami ikuti tren dunia untuk masalah Google karena ini modus baru. Kalau main keras, belum tentu kuat juga," ujar Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv di Jakarta, Selasa (20/12/2016).

Meski begitu, Ditjen Pajak pun memiliki hitungan sendiri terkait utang pajak Google ke negara. Setelah penghitungan, angka itu dikomparasi dengan angka milik Google.

Namun, saat dikomparasi, Haniv mengungkapkan, angka yang diajukan Google sangat kecil, hanya seperlima dari angka yang dimiliki Ditjen Pajak.

Padahal, angka yang diajukan Ditjen Pajak sudah sangat minimal. Google lantas melakukan penawaran.

Namun, tawaran itu ditolak lantaran Ditjen Pajak diminta untuk menurunkan hasil perhitungan utang pajak Google.

"Saya pasang satu angka dan dia menawar di angka yang bawah sekali. Loh kok malah kayak di pasar. Dia minta saya turun dan dia naik. Enggak bisa saya bilang, ini angka yang konservatif, dan Ibu Menteri Keuangan pun tahu angkanya," kata Haniv.

Menurut ia, Google seharusnya bersyukur lantaran Ditjen Pajak hanya mengajukan angka tax settlement yang minimal tanpa denda bunga 150 persen.

Namun, Google justru minta angka lebih rendah lagi. Setelah negosiasi menemui jalan buntu, Ditjen Pajak lantas meminta Google membuka data keuangannya untuk menghitung secara langsung angka pasti pajak Google. Namun, data itu belum juga diserahkan hingga saat ini.

Sebelumnya, Darussalam, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), menilai, pendekatan yang paling ideal untuk menyelesaikan kasus pajak Google memang dengan melakukan negosiasi.

Namun, bila tidak mencapai kesepakatan, Ditjen Pajak harus mengambil langkah tegas. "Jika tidak tercapai, bisa saja dikembalikan lagi kepada mekanisme hukum pajak yang mendasari dengan konsekuensi diserahkan kepada aturan pajak yang berlaku," ujar Darusalam di Jakarta, Minggu (18/12/2016).

Bila ditarik ke hukum pajak, kasus Google akan masuk ke tahapan pemeriksaan bukti permulaan. Artinya, kasus pajak Google sudah terindikasi pidana.

Perusahaan raksasa internet itu disebut-sebut memiliki utang pajak sebesar Rp 1 triliun yang belum terbayar sejak 2011. Ditambah dengan denda Rp 4 triliun (400 persen), Google berutang pajak sebesar Rp 5 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Bebastugaskan Pejabatnya yang Ajak Youtuber Korsel Main ke Hotel

Kemenhub Bebastugaskan Pejabatnya yang Ajak Youtuber Korsel Main ke Hotel

Whats New
Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Whats New
OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

Whats New
Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Whats New
Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Whats New
Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Whats New
Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Work Smart
Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Whats New
Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Whats New
Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Whats New
Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Earn Smart
Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Whats New
Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Whats New
Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Whats New
Pasar Kripto Berpotensi 'Rebound', Simak Prospek Jangka Panjangnya

Pasar Kripto Berpotensi "Rebound", Simak Prospek Jangka Panjangnya

Earn Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com