Khusus dalam kasus pilot mabuk ini bisa jadi orang dengan mudah dapat sampai kepada kesimpulan sementara bahwa kekurangan Inspektor penerbangan seperti yang disinyalir oleh ICAO dalam "finding"-nya di tahun 2007 masih belum sepenuhnya dapat diatasi.
Pertanyaan berikutnya yang sangat logis kemudian adalah keraguan terhadap apakah memang benar Indonesia sudah "sukses" menjadikan posisinya kembali di jajaran negara kategori 1 penilaian FAA.
Hal ini tentu saja menjadi jauh sangat memalukan tidak hanya bagi korps pilot sipil komersial Indonesia akan tetapi juga bagi dunia penerbangan Indonesia secara keseluruhan. Kebanggaan sebagai seorang pilot ternyata sudah tidak sanggup lagi digunakan sebagai modal dasar dalam menjaga "disiplin" pribadi sebagai figur yang sering dipandang sebagai "superman" sang jagoan, sang pemberani, tokoh idola anak-anak sejagad.
Sebuah tantangan baru datang menjelang bagi dunia penerbangan kita yang baru saja meraih prestasi. Kredibilitas regulator dalam hal ini pemegang otoritas penerbangan nasional tentu saja kembali berada dalam posisi yang dipertanyakan banyak pihak.
Disisi lain, mungkin jauh lebih penting, profesi pilot Indonesia juga tengah bergeser ke posisi yang agak memalukan. Di sinilah peran para pilot sendiri yang dituntut untuk menjawab pertanyaan besar dari publik para pengguna jasa angkutan udara, sampai sejauh mana profesi pilot masih dapat diandalkan sebagai tulang punggung, "the front liner" bagi terselenggaranya sistem angkutan udara yang aman dan nyaman, yang bergengsi, yang dapat memberikan jaminan rasa aman dalam bepergian dengan pesawat terbang.
Sebuah tantangan baru bagi profesi pilot. Ayo bangun pilot Indonesia! Bangun untuk dapat menjadi kebanggaan ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa!
Kiranya, dengan kasus Pilot mabok ini, tagline Pilot yang sudah sejak jaman dahulu menjadi pegangan "kebanggaan" di kalangan para airman di seluruh dunia, kini sudah mulai ditinggalkan: "24 hours from bottle to throttle"
Tanah Papua 31 Desember 2016
Chappy Hakim