Mengacu pada konstitusi dan peraturan perundangan sebagai produk hukum turunannya—termasuk regulasi di sektor hulu migas—semua aset kontraktor dalam industri ini tetap merupakan milik negara.
Aset ini tentu saja mencakup kawasan yang digunakan untuk semua kegiatan hulu migas. Harapan pun lalu bertumpu pada penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Sayangnya, penerapan Undang-Undang tersebut di lapangan masih jauh api dari panggang. Banyak pemilik tanah—baik kalangan swasta, pemerintah, maupun perusahaan negara—yang tak serta-merta mau melepaskan kepemilikan tanah atau meloloskan izin pakai kawasan.
Dirjen Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) Arie Yuriwin mengakui fakta lapangan semacam itu terjadi di beberapa wilayah yang menjadi lokasi kegiatan hulu migas di Indonesia.
“Maka dari itu, kami memfasilitasi dan mengundang instansi yang berkepentingan supaya dapat menyelesaikan masalah tersebut,” ungkap Arie, saat ditemui di sela pengambilan gambar acara Bingkai Inspirasi di Kompas TV, Rabu (15/3/2017).
Ganti rugi, ujar Arie, akan diberikan bila lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan hulu migas ini sebelumnya sudah berbentuk lahan pertanian, bangunan, atau aset yang menghasilkan. Untuk tanah adat atau ulayat, lanjut dia, akan dicarikan lahan pengganti sekalipun bakal butuh waktu lama.
Tentu saja, tantangan seperti ini tak akan pernah terselesaikan tanpa dukungan dari semua anak bangsa, termasuk seluruh jajaran pemerintah dan komponen masyarakat. Nah, mau menjadi bagian dari solusi untuk mengantisipasi krisis migas benar-benar terjadi di negeri ini?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.